Jakarta,REDAKSI17.COM – Tuyul dalam cerita penduduk dikenal sebagai makhluk halus yang digunakan dimaksud kerap mencuri uang. Budayawan Suwardi Endraswara dalam Dunia Hantu Orang Jawa (2004) menuliskan kegiatan tuyul diimplementasikan dari rumah ke rumah lalu pekerjaannya tak belaka sebatas mencuri uang, tetapi juga barang serta juga surat-surat berharga. Biasanya, ini dilaksanakan oleh seseorang yang mana yang disebut tergila-gila akan kekayaan.
Namun, pernahkah Anda terpikir kenapa tuyul cuma sekali melakukan pencurian dari rumah ke rumah. Apakah dapat belaka tuyul melakukan pencurian ke bank yang tersebut digunakan menyimpan banyak sekali uang? Atau minimal melakukan pencurian atas nilai e-money?
Sejauh ini memang belum ada kasus bank kehilangan uang akibat pencurian oleh makhluk halus bertubuh anak kecil tersebut. Di internet berseliweran informasi persoalan jawaban dari pertanyaan ini. Ada yang digunakan menyebut tuyul takut terhadap logam oleh sebab itu uang di dalam tempat bank tersimpan di dalam tempat brankas. Ada juga yang dimaksud dimaksud menyebut pada bank terdapat “penjaga” merupakan makhluk halus lain yang ditakuti tuyul.
Jawaban-jawaban yang dimaksud disebut semata-mata sebatas dugaan dari suatu hal yang tersebut dimaksud memang tak logis. Namun, terlepas dari apa jawaban dari pertanyaan tersebut, satu hal pasti terdapat alasan sains pada balik cerita mistis tuyul. Alasan inilah yang dimaksud dimaksud dapat mematahkan keberadaan tuyul serta juga alasan kenapa tuyul tak mencuri uang ke bank atau mengambil jumlah agregat e-money seseorang.
Untuk memahami penjelasannya, kita harus memundurkan waktu ke tahun 1870. Kala itu, Belanda meresmikan kebijakan pintu terbuka atau liberalisasi sektor kegiatan ekonomi menggantikan sistem tanam paksa. Sekilas perubahan ini membawa angin segar dikarenakan dinilai mampu menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya tidak.
Menurut Jan Luiten van Zanden serta juga Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), liberalisasi perekonomian justru melahirkan rezim kolonial baru yang mana mana di tempat dalam dalamnya terjadi pengambilalihan perkebunan rakyat untuk diubah menjadi perkebunan besar juga pabrik gula. Situasi ini kemudian menghasilkan kehidupan penduduk terpuruk, khususnya para petani kecil di area tempat Jawa yang dimaksud semakin terperosok ke dalam jurang kemiskinan. Sebab, merek tak lagi mempunyai kuasa atas lahan perkebunan.
Pada sisi lain ada juga masyarakat yang digunakan dimaksud sejahtera dari sistem ini. Mereka adalah pedagang, baik dari kalangan pribumi atau Tionghoa, yang dimaksud mana dalam sekejap menjadi orang kaya baru. Kenaikan pesat kekayaan mereka itu lantas menimbulkan keheranan bagi para petani yang mana yang kian melarat itu. Para petani bingung darimana asal-usul kekayaan mereka.
Perlu diketahui saat itu para petani hidup apa adanya. Menurut Ong Hok Ham dalam Wahyu yang digunakan yang Hilang Negeri Yang Guncang (2019), merekan menganut sistem subsisten. Artinya, bertani sekedar cukup untuk konsumsi sendiri. Jika ada hasil tani lebih, maka akan diberi sebagai upeti atau dijual.
Akibatnya, merek punya pandangan kalau pemupukan kekayaan adalah proses yang dimaksud itu terbuka. Maksudnya, tiap orang harus melewati proses dan juga juga bisnis jelas yang mana yang dapat dilihat oleh mata orang lain. Masalahnya, dia bukan melihat kerja keras dari orang kaya baru itu. Terlebih merekan tiada dapat membuktikan selama usul kekayaannya jika ditanya para petani. Alhasil timbul rasa iri juga kecemburuan oleh petani ke tukang jualan lantaran sanggup semata mendapat harta sebanyak itu.
Terlebih, menurut George Quinn dalam “An Excursion to Java’s Get Rich Quck Tree” (2009)”, para petani selalu beranggapan datangnya kekayaan harus dipertanggungjawabkan. Maka ketika orang kaya gagal mempertanggungjawabkan selama kekayaannya, para petani iri juga menuduh uang itu hasil pencurian.
Karena kental dengan pandangan mistik, para petani memandang pencurian itu berkat kerja sejenis orang kaya dengan makhluk supranatural juga kasat mata. Salah satunya tuyul. Tuyul adalah sosok mitologi Jawa yang mana yang disebut sudah dikenal sejak lama. Bentuknya makhluk halus atau hantu berbadan kecil kemudian juga botak yang dimaksud mana dapat dipelihara.
Jadi, para petani yang tersebut yang iri selalu menuduh orang kaya baru menggunakan cara haram dalam memperoleh kekayaan. Akibat tuduhan ini, tulis Ong Hok Ham dalam buku lain berjudul Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002), menimbulkan tukang jualan kemudian pengusaha sukses kehilangan status di tempat tempat masyarakat. Mereka dianggap “hina” oleh sebab itu memupuk kekayaan dari cara haram yakni bersekutu dengan setan. Padahal ini semua terjadi akibat perubahan kebijakan kolonial Belanda yang digunakan yang disebut memproduksi pengusaha tertimpa durian runtuh.
Ketidaksukaan para petani terhadap orang yang digunakan mana kaya mendadak tak belaka berdampak pada hubungan personal semata, melainkan tambahan lanjut dari itu. Akibatnya, terjadi perubahan transaksi barang oleh orang kaya. Orang kaya kemudian cenderung membeli barang yang digunakan tiada menunjukkan kekayaan dia sesungguhnya, seperti emas atau barang-barang mewah. Apabila dia membeli tanah atau rumah, maka merek itu akan dituduh memelihara setan atau tuyul oleh petani.
Tuduhan tak berdasar ini memproduksi popularitas tokoh tuyul sebagai subjek mistis dalam hal kekayaan semakin meningkat serta terus populer sampai saat ini di area area Indonesia. Terlebih, masyarakat Indonesia yang mana digunakan selama bertahun-tahun hidup secara agraris, makin melanggengkan imajinasi serta juga tuduhan menggunakan tuyul.