Jakarta,REDAKSI17.COM – Lebih dari empat dekade neraca jasa Indonesia selalu mengalami defisit. Pergantian presiden demi presiden tetap tak mampu memproduksi neraca jasa menjadi surplus.
Bank Indonesia (BI) telah terjadi lama merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) hingga transaksi berjalan yang hal itu terpantau defisit pada kuartal I-2024.
Jika dilihat lebih besar banyak rinci, transaksi berjalan dalam hal jasa-jasa terpantau berada dalam teritori defisit US$4,41 miliar dengan ekspor jasa sebesar US$8,72 miliar kemudian juga impor sekadar sebesar US$13,13 miliar. Hal ini memang sedikit tambahan banyak rendah dibandingkan kuartal IV-2023 yang digunakan mengalami defisit US$4,97 miliar.
Kinerja neraca jasa yang tersebut digunakan membaik itu didukung oleh peningkatan penerimaan devisa jasa pariwisata.
Sementara kinerja neraca jasa yang dimaksud masih menjadi beban defisit yakni transportasi sebesar US$2,4 miliar serta perniagaan lainnya sebesar US$1,38 miliar. Selain itu, jasa pemeliharaan juga perbaikan, konstruksi, asuransi lalu dana pensiun, keuangan, biaya penyelenggaraan kekayaan intelektual, hingga telekomunikasi, komputer, juga informasi.
Untuk diketahui, neraca jasa merupakan hasil bersih antara ekspor jasa kemudian juga impor jasa.
Beberapa transaksi yang tersebut termasuk ke dalam kelompok jasa contohnya yakni jasa transportasi, pariwisata, kemudian juga komunikasi.
Lebih lanjut, perhitungan baik ekspor maupun impor dalam hal ongkos kemudian jasa pengiriman terdiri dari cost, insurance, juga juga freight (c.i.f).
Dikutip dari Fundamental Ekonomi juga juga Krisis Ekonomi Indonesia yang tersebut yang disebut ditulis oleh Sahabudin Sidiq tahun 1999, penyebab defisit pada neraca jasa-jasa adalah besarnya pembayaran bunga utang luar negeri lalu juga jasa-jasa transportasi untuk ekspor-impor.
Lebih lanjut, Sidiq menjelaskan bahwa jasa-jasa yang tersebut mana harus dibayarkan oleh Indonesia memang terus terjadi terutama bunga utang luar negeri. Hal ini semakin memberatkan rupiah pada tempat tengah depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pelemahan rupiah terpantau hampir terus terjadi setiap tahunnya. Hal ini menjadi salah satu alasan dari terjadinya defisit pada neraca ajsa. Dilansir dari Refinitiv, sejak tahun 2000 hingga 2023 atau 24 tahun terakhir, 16 diantaranya menunjukkan bahwa rupiah mengalami depresiasi.
Lebih lanjut, jika dirata-ratakan performa rupiah setiap tahunnya, maka rupiah cenderung mengalami pelemahan sebesar 3,92%.
Tidak sampai disitu, pada sektor jasa transportasi ekspor-impor Indonesia banyak menggunakan jasa asing. Hal ini dapat dilihat ketika eksportir pernah kesulitan untuk mendapatkan kontainer untuk mengekspor barangnya.
Defisit Neraca Jasa-Jasa Lebih dari 40 Tahun
Dikutip dari tulisan Muhammad Afdi Nizar yang mana hal itu berjudul PENGARUH DEFISIT ANGGARAN TERHADAP DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA, terpantau neraca jasa-jasa mengalami defisit yang digunakan itu terus-menerus terjadi setidaknya sejak 1980-2021 atau 41 tahun lebih. CNBC Indonesia tidaklah menemukan data yang dimaksud yang disebut lebih banyak banyak lama dari 1980.
Artinya, defisit sudah berlangsung dari era Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingag Joko Widodo (Jokowi).
![]() Sumber: Bank Indonesia (2013) |
Bila diperhatikan selama ini, neraca jasa-jasa lalu pendapatan neto selalu mengalami defisit. Bahkan sejak 2004 hingga 2013, defisit neraca pendapatan sudah pernah menjadi kontributor terbesar bagi defisit transaksi berjalan.
Kondisi ini memberikan indikasi bahwa pendapatan yang tersebut digunakan harus ditransfer ke luar negeri lebih besar besar besar dari pada pendapatan yang digunakan diterima Indonesia dari luar negeri.
Salah satu pendapatan yang mana dimaksud ditransfer ke luar negeri adalah bunga pinjaman luar negeri pemerintah. Besaran bunga pinjaman ini juga dicatat di dalam tempat dalam Anggaran Pendapatan serta Belanja Negara (APBN) juga termasuk salah satu penyumbang yang digunakan digunakan cukup besar bagi defisit anggaran.
Defisit neraca jasa-jasa terus terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga kuartal I-2024.
Pelebaran defisit terjadi pada 2021 hingga awal 2024 terjadi akibat pasca pandemi Covid-19 dalam dalam tahun 2020 menyebabkan utang Indonesia mengalami pembengkakan serta diikuti dengan pelemahan rupiah yang dimaksud digunakan terjadi khususnya sepanjang 2022, rupiah ambruk lebih besar besar dari 9%.
Sektor Trasportasi, Penyumbang Utama Tekornya Neraca Jasa
Setidaknya ada 11 jenis jasa yang digunakan digunakan dihitung dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yaitu jasa manufaktur, jasa pemeliharaan juga perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi serta pensiun, jasa keuangan, jasa pemakaian kekayaan intelektual, jasa komunikasi, computer, lalu informasi, jasa personal, kultural, kemudian rekreasi, serta jasa pemerintah.
Kegiatan ekspor impor ke-11 jasa itu akan menjadi penentu defisit surplusnya neraca. Termasuk adalah pembayaran bunga lalu dividen, pengeluaran turis dalam Indonesia ataupun wisatawan Indonesia dalam dalam luar negeri.
Bila merujuk pada data NPI, penyumbang terbesar dari defisit neraca jasa adalah sektor transportasi. Pada kuartal I-2024, defisit pada sektor transportasi menyentuh US$ 2,4 miliar atau 54,4% dari total defisit neraca jasa. Pada 2023, defisit sektor transportasi mencapai US$ 8,8 miliar atau 48,6% dari total defisit neraca jasa.
Besarnya defisit neraca jasa pada sektor transportasi utamanya dipicu oleh peningkatan defisit pada jasa transportasi (freight) akibat masih dikuasainya pelayaran oleh kapal asing.
Laporan Tim Kajian Neraca Pembayaran Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan pada 2012 menyebut kapal berbendara asing diperkirakan menguasai 78% total keseluruhan kapal, 94% daya angkut, kemudian juga 90% muatan ekspor juga impor. Sedangkan kapal berbendara Indonesia hanya sekali sekali menguasai kapal-kapal dengan daya angkut yang tersebut relatif kecil.
Jumlah yang mana tiada berjauhan beda selama 10 tahun berselang.
Data Kementerian Perhubungan menyebut jika untuk mengangkut ekspor kemudian impor Indonesia masih bergantung pada kapal asing. Lebih dari 80% ekspor Indonesia diangkut oleh kapal asing.
Data Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) bahkan menyebut muatan ekspor impor Indonesia 90% diangkut asing.
Dengan besarnya jasa ekspor impor oleh kapal asing maka setidaknya ada tiga hal yang digunakan mana harus dibayar dalam mata uang asing yakni sewa kapal, tenaga kerja, hingga asuransi.
CNBC INDONESIA RESEARCH