Jakarta,REDAKSI17.COM – Rencana pungutan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi perbincangan rakyat sebab gaji yang dimaksud hal tersebut diterima akan berkurang. Hal ini terjadi setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP).
PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sudah resmi diterbitkan.
Dalam aturan yang dimaksud terbit pada 20 Mei 2024 ini, pemerintah mewajibkan setiap pemberi kerja mendaftarkan karyawannya ke program Tapera paling lambat 2027. Setelah terdaftar, pemerintah akan memotong gaji para karyawan sebesar 3% setiap bulan untuk dimasukan ke dalam Tapera.
Dana program Tapera yang tersebut kemudian dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang mana dibentuk berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Kemudian, perincian tugas dan juga juga wewenang BP Tapera juga sudah diatur tambahan tinggi lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, dengan tujuan menghimpun juga juga menyediakan dana hemat jangka panjang yang mana digunakan berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah layak juga terjangkau bagi peserta, serta miliki fungsi untuk melindungi kepentingan peserta.
Kebijakan ini akan menyasar semua pegawai di tempat tempat Indonesia, termasuk dia yang dimaksud bekerja pada tempat swasta. Pasal 55 PP Tapera menyebutkan setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin yang digunakan dimaksud memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, wajib menjadi peserta Tapera.
Selanjutnya, Pasal 7 juga merinci jenis pekerja yang tersebut yang disebut wajib menjadi peserta Tapera. Pasal yang mana menyebut program ini tak cuma menyasar aparatur sipil negara (ASN), namun juga pekerja lainnya yang digunakan hal tersebut menerima gaji.
Lewat program Tapera, peserta yang dimaksud yang mana mana termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat terdiri dari Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), lalu Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun kemudian suku bunga tetap di tempat area bawah suku bunga pasar.
Lantas, apakah Tapera ini merupakan hal yang baru? Bagaimana dengan sejarah kebijakan perumahan pada Indonesia puluhan tahun lalu?
Sebagaimana yang dimaksud hal tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, urusan penyediaan perumahan ditangani langsung oleh pemerintah.
Secara kelembagaan, urusan perumahan ditangani oleh Kementerian Pekerjaan Umum kemudian Perumahan Rakyat khususnya di tempat tempat Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan.
Sejarah Kebijakan Sektor Perumahan Indonesia
Awalnya pada 1924, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Peraturan Perumahan Pegawai Negeri Sipil atau Burgelijk Woning Regeling atau disebut dengan BWR.
Kemudian pada 1925-1930, Pemerintah Hindia Belanda bersipa untuk menyediakan permukiman yang digunakan dimaksud layak kepada orang-orang Belanda kemudian Eropa yang dimaksud makin banyak datang ke Hindia Belanda.
Selanjutnya pada 1945 atau Era Orde Lama Soekarno, Departemen Pekerjaan Umum terbentuk, yang dimaksud salah satu tugas dan juga juga fungsinya adalah melakukan penyelenggaraan kemudian pemeliharaan gedung-gedung. Namun, dikarenakan kondisi negara sedang bukan aman juga tak stabil saat itu, maka dampak bangunan perumahan belum terasa oleh masyarakat.
Empat tahun kemudian, Stadsvorming Ordonantie (SVO) atau Undang-undang Pembentukan Kota ditetapkan, mendasari perkembangan Kebayoran Baru, pelopor pembangunan perumahan Indonesia.
Satu tahun selanjutnya, Penyelenggaraan Kongres Perumahan Sehat pertama dilaksanakan, tanggal 25-30 Agustus 1950 dalam Bandung. Kongres ini menjadi tonggak sejarah perumahan pada tempat Indonesia dan juga juga tanggal 25 Agustus diperingati sebagai Hari Perumahan Nasional (Hapernas).
Tak lama setelah itu, Yayasan Kas Pembangunan (YKP) didirikan sebagai lembaga pembiayaan perumahan.
Kemudian, Djawatan Perumahan Rakyat dibentuk sebagai lembaga perkembangan perumahan, bagian dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pemerintah semakin giat dengan membentuk LPMB (Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan) untuk menangani hambatan perumahan, khususnya dalam penelitian guna mencari solusi pengembangan rumah murah. Lembaga ini kemudian mendapat bantuan dari PBB.
Pada 1958, UU Darurat Nomor 3 tahun 1958 terbit, pada mana urusan perumahan menjadi tanggung jawab Kementerian Sosial. Kementerian Sosial mendirikan Kantor Pusat Urusan Perumahan.
Pada 1960, terbit Ketetapan MPR No. II/1960. Pemerintah berusaha memecahkan permasalahan pengadaan perumahan dengan beberapa ketentuan pokok, seperti bidang perumahan hendaknya diusahakan perkembangan rumah-rumah sehat, nikmat, tahan lama, terjangkau tarif juga terjangkau sewanya, serta memenuhi syarat-syarat kesusilaan.
Selain itu, bantuan untuk proyek perumahan hendaknya disalurkan melalui berbagai jalan yang mana mana mudah.
Dua tahun berikutnya, Undang-Undang Pokok Perumahan Nomor 6 tahun 1962 diterbitkan. Namun lantaran tidaklah berjalan dengan baik diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1963.
Kemudian pada 1964, Undang-Undang Pokok Perumahan No. 1 tahun 1964 diterbitkan dengan fokus pada memberikan arahan pengadaan perumahan dalam Indonesia.
Selang 10 tahun berikutnya, dibentuk Badan Kebijakan Perumahan Nasional (BKPN), Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas), lalu Bank Tabungan Negara (BTN).
BTN pada saat itu sebagai atu-satunya bank perumahan yang tersebut yang disebut membuka akses pembiayaan rumah MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) melalui kredit perumahan.
Lalu pada 1978 atau Era Orde Baru Soeharto, KPR mulai digalakkan kemudian urusan erumahan rakyat ditangani kementerian sendiri, dipimpin Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat.
Pada 1983, urusan perumahan yang tersebut dimaksud tadinya ditangani Kementerian Muda menjadi setingkat Kementerian Negara Perumahan Rakyat.
Kemudian pada 1994, dibentuk adan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) sebagai pelaksana pengelolaan dana tabungan.
Masuk ke awal 2000an, muncul perhitungan kuantitatif dengan istilah 1 jt backlog perumahan yang tersebut digunakan diresmikan dengan pencanangan Gerakan Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) kemudian pada 2004, Kebijakan Perumahan Swadaya menjadi Prioritas dengan tiga program yang mana ditetapkan yakni Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Program Pembiayaan Rumah Swadaya (PRS), lalu Program Kemitraan Perumahan Swadaya (KPS).
Selanjutnya pada 2005, lahir PT. Sarana Multigriya Finance (SMF) sebagai lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan juga juga pada 2006 lahir Program Seribu Tower Rumah Susun Sederhana.
Di tahun 2010 atau era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lahir bantuan pembiayaan Fasilitasi Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Selanjutnya pada 2015, Presiden Joko Widodo mencanangkan Program Sejuta Rumah lalu pada 2016, Undang-undang No. 4 tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) disahkan.
UU Tapera hadir dengan beberapa terobosan yang mana digunakan membawa angin baru bagi penyediaan dana tiada mahal jangka panjang untuk pembiayaan perumahan. Namun, terdapat beberapa aspek legal yang tersebut dimaksud perlu diperhatikan pada dalam balik konsep baru yang digunakan dibawa oleh UU Tapera ini.
Sebagaimana tercantum dalam UU Tapera terdapat badan baru yang mana diamanatkan untuk mengelola Dana Tapera, yakni Badan Pengelola Tapera (BP Tapera).
Badan ini diberikan wewenang oleh undang-undang untuk menetapkan besaran alokasi Dana Tapera untuk keperluan pemupukan, pemanfaatan, kemudian cadangan. Kegiatan pemanfaatan merupakan kegiatan utama (core) dari Tapera, yakni kegiatan penyaluran Dana Tapera untuk pembiayaan perumahan Peserta Tapera yang dimaksud digolongkan sebagai MBR.
Kegiatan ini sejatinya serupa dengan penyaluran dana FLPP yang hal itu sudah dijalani diimplementasikan oleh LPDPP (Lembaga Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan).
Sebagaimana yang tersebut yang termuat dalam pada Pasal 61 ayat (1) UU Tapera, pembentuk UU Tapera menghendaki adanya pengintegrasian dana FLPP yang mana itu dikelola oleh LPDPP ke dalam Dana Tapera.
Pengalihan dana bukan semata-mata akan berbentuk dana segar dari pengalokasian APBN saja, namun juga termasuk pengelolaan dana FLPP yang tersebut sudah disalurkan LPDPP kepada masyarakat melalui bank-bank penyalur KPR FLPP.
CNBC INDONESIA RESEARCH