Jakarta,REDAKSI17.COM – Pasar keuangan RI berakhir dalam zona merah lagi pada perdagangan kemarin, Rabu (12/6/2024). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) koreksi tipis, rupiah tertekan lagi, sampai obligasi juga masih dibuang investor.
Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih akan tertekan setelah keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed). Sentimen selengkapnya yang digunakan dimaksud kemungkinan mempengaruhi pasar pada hari ini, Kamis (13/6/2024) silahkan dibaca pada halaman tiga artikel ini.
Dari pasar saham terlebih dahulu, IHSG pada perdagangan kemarin, Rabu (12/6/2024) terpantau koreksi lagi sebesar 5,59 poin atau 0,08% ke posisi 6.850,09.
Sudah dua hari beruntun IHSG berakhir di tempat tempat zona merah lalu juga saat ini posisinya sudah semakin setara dengan level terendah sejak November 2023 lalu.
Transaksi indeks kemarin terbilang sudah mulai membaik kemudian akhirnya kembali menembus bilangan bulat pada atas Rp10 triliun. Pasalnya, dalam empat hari terakhir transaksi bursa cenderung sepi.
Nilai transaksi kemarin melibatkan 19,88 miliar lembar saham yang tersebut telah dilakukan diimplementasikan berpindah tangan sebanyak 894.969 kali. Adapun 418 saham tercatat koreksi, 141 saham menguat, sementara 224 saham tak ada perubahan.
IHSG yang digunakan tergelincir kemarin juga terjadi seiring dengan aksi jual asing masih masif. Dalam sehari asing keluar bersih Rp746,96 miliar dari keseluruhan pasar, rinciannya di dalam tempat pasar regional net sell mencapai Rp805,31, sementara untuk pasar nego lalu transaksi masih net buy sebanyak Rp58,35 miliar.
Saham perbankan besar masih menjadi top net sell kemarin, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dibuang paling banyak, mencapai Rp246,6 miliar, kemudian PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga juga PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masing-masing Rp87,2 miliar serta Rp78,7 miliar.
Sebagai catatan, keluarnya asing dari BMRI menyebabkan tarif saham tergelincir lebih lanjut banyak dari 3% lalu menjadi pemberat IHSG paling signifikan, mencapai 18,25 poin.
Ada lagi dua emiten yang digunakan dimaksud dibuang asing, tapi biaya saham-nya masih bertahan positif, yakni PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) sebanyak Rp64 miliar dan juga juga PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Rp63 miliar.
Flow asing yang mana mana masih keluar ini juga berimplikasi pada gerak nilai tukar rupiah yang dimaksud bergabung tertekan pada hadapan dolar AS. Melansir data Refintiiv, mata uang Garuda melemah 0,03% dalam bilangan bulat Rp16.290/US$ pada kemarin, Rabu (12/6/2024).
Depresiasi rupiah ini sejalan dengan penutupan perdagangan kemarin, Selasa (11/6/2024) yang digunakan mana melemah sebesar 0,06% kemudian menandai mata uang RI sudah terjadi depresiasi tiga hari beruntun.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan pelemahan rupiah saat ini terjadi dikarenakan faktor musiman, yakni penyelenggaraan ibadah haji kemudian pembayaran bunga utang pemerintah dalam mata uang dolar. Selain itu, kata dia, pelemahan Rupiah ini juga terjadi dikarenakan pelaku pasar tengah menanti pengumuman data inflasi AS yang mana akan dikerjakan pekan ini.
“Ini minggu penting, artinya market menanti rilis inflasi AS bulan Mei yang tersebut dimaksud diperkirakan secara tahunan akan flat, tapi secara bulanan cenderung tambahan tinggi rendah,” katanya.
Dia mengakui pasar memang agak cemas untuk urusan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed). Apalagi setelah AS mengumumkan data tenaga kerja yang tersebut mana lebih besar lanjut tinggi dari ekspektasi. Rilis data tenaga kerja itu, kata dia, menciptakan ekspektasi pasar terhadap pemangkasan Fed Fund Rate kembali turun dari yang mana tadinya 50 basis point pada akhir tahun 2024, menjadi belaka sekali 25 basis poin.
“Dinamika ekspektasi arah suku bunga The Fed ini berdampak juga pada penguatan dolar indeks,” kata dia.
Jika suku bunga The Fed berada di tempat area level yang mana cukup tinggi dalam waktu yang dimaksud lama, maka tekanan terhadap mata uang Garuda akan terus terjadi.
Beralih ke pasar obligasi, pada perdagangan kemarin terpantau masih cukup berat tercermin dari yield obligasi acuan RI bertenor 10 tahun yang dimaksud mana masih berada pada tempat level 7%, juga juga menandai kenaikan selama tiga hari beruntun.
Perlu dipahami bahwa kenaikan yield berbanding terbalik dengan tarif yang digunakan malah semakin turun. Ini kemudian mencerminkan kondisi obligasi Indonesia yang digunakan masih dijual investor.





