Home / Ekobis / 49 Kontrak Migas Diterminasi, Kas Perusahaan Rontok?

49 Kontrak Migas Diterminasi, Kas Perusahaan Rontok?

49 Kontrak Migas Diterminasi, Kas Perusahaan Rontok?

Jakarta,REDAKSI17.COM – Tingginya harga minyak kemudian gas (migas) berbanding terbalik dengan nasib pemilik tambang. Sebanyak 49 kontrak hulu minyak lalu gas bumi (migas) berpotensi diterminasi atau dikembalikan ke negara sepanjang 2020 hingga 2023 ini.

Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar mengingat perolehan kontrak migas seharusnya dapat menjadi prospek bagi perusahaan untuk memperoleh keuntungan ‘jumbo’.

Kontrak migas berpotensi diterminasi salah satunya sanggup hanya dipicu lantaran dalam kurun waktu tertentu, khususnya selama masa eksplorasi, operator migas bukan menemukan cadangan hidrokarbon seperti yang digunakan diharapkan alias dry hole.

Selain itu, kontrak hulu migas juga berpotensi diterminasi bila operator migas tiada menjalankan kegiatan apapun sesuai dengan yang tersebut digunakan telah lama terjadi ditetapkan dalam kontrak maupun rencana pengembangan atau Plan of Development (PoD).

Banyaknya operator migas yang dimaksud mana tidaklah ada mengembangkan blok migas menimbulkan adanya spekulasi yang dimaksud diakibatkan beberapa faktor, seperti seretnya likuiditas, biaya pengembangan & produksi yang dimaksud tinggi seiring meningkatnya aktivitas akibat biaya tinggi, kemudian permasalahan lainnya.

Bagaimana Kondisi Likuiditas Internal Perusahaan Migas?

Terdapat beberapa perusahaan minyak serta gas dalam pasar modal yang tersebut mana merilis keuangannya. Salah satu indikator yang tersebut dapat dilihat yaitu rasio arus kas bersih (Free Cash Flow/FCF) dalam tiga tahun ke belakang yang digunakan mencerminkan pergerakan kas perusahaan untuk kegiatan operasional kemudian pengembangan perniagaan (capex).

Analisis akan dijalankan dengan membandingkan kinerja free cash flow (FCF) 2020-2022 lalu juga 2017-2019. FCF yang digunakan itu lebih tinggi banyak tinggi mengindikasikan perusahaan miliki sisa kas yang mana lebih tinggi lanjut besar untuk melakukan pengembangan usaha.

Secara keseluruhan, arus kas bersih dari perusahaan yang mana dimaksud melantai dalam bursa mengalami kenaikan likuiditas keuangan pada periode 2020-2022 jika dibandingkan dengan 2017-2019. Data menunjukkan empat emiten yang dimaksud mana melantai di dalam area bursa mengalami kenaikan FCF dan dua perusahaan mengalami penurunan.

Nilai yang tersebut juga mengalami kenaikan jika menjumlahkan dari keseluruhan FCF pada 6 emiten yang dimaksud yang dijadikan sampel. Sebagai catatan, PGAS MEDC, kemudian ENRG merupakan perusahaan migas yang digunakan yang disebut juga miliki konsesi pertambangan. Sedangkan, 3 emiten sisanya merupakan perusahaan pendukung pertambangan migas.

 

Dari sisi data keuangan perusahaan migas secara keseluruhan masih mampu mencatatkan FCF positif pada 2020-2022. Likuiditas internal perusahaan, seharusnya bukan persoalan yang dimaksud digunakan menyebabkan adanya terminasi kontrak.

Persoalan Pendanaan Eksternal serta Iklim Investasi Migas RI

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak juga Gas Bumi (SKK Migas) mencatat realisasi pembangunan dunia usaha hulu migas sepanjang semester I-2023 mencapai US$ 5,7 miliar. Angka ini masih pada tempat bawah target investasi modal H1-2023 sebesar US$ 7,4 miliar sekalipun tambahan tinggi dibandingkan dengan semester I-2022 yang digunakan digunakan belaka USD 4,7 miliar.

Ketua Komite Investasi Aspermigas, Moshe Rizal menyebutkan rendahnya target investasi modal hulu sanggup jadi tiada lepas dari dampak program transisi energi global yang digunakan menyebabkan pendanaan sektor migas semakin turun.

Sementara Pengamat & Praktisi Migas, Tumbur Parlindungan mengadakan pengerjaan dunia usaha hulu migas RI masih menghadapi kendala terkait ketersediaan peralatan untuk melakukan eksplorasi migas (Rig). Selain itu kondisi iklim perkembangan sektor ekonomi hulu migas RI bukan semenarik negara lain menciptakan pemodal enggan masuk ke Indonesia.

Kondisi Makro Perminyakan Global

Permasalahan sulitnya pengembangan sektor migas RI cukup disayangkan, mengingat industri migas sedang cukup panas dalam tiga tahun terakhir. Harga minyak berada dalam atas kisaran level US$ 60 per barel sejak 2021, bahkan sempat menyentuh titik tertingginya sekitar pertengahan 2022 menembus US$ 120 per barel.

Inflasi yang digunakan mana melonjak, perlambatan perkembangan kegiatan ekonomi sektor hulu migas, pemangkasan produksi OPEC, ketidakpastian geopolitik, lonjakan permintaan pasca covid-19, hingga ancaman pasokan akibat peperangan Rusia-Ukraina serta Israel-Hamas menyebabkan nilai minyak mengalami kenaikan signifikan.

Melansir Refinitiv, harga jual jual minyak Brent berada pada US$ 89,2 juga minyak WTI US$86,15 per barel pada Jumat (13/10/2023). Harga saat ini masih lebih besar lanjut tinggi jika dibandingkan level normalnya.

Indonesia yang mana itu masih harus mengimpor minyak, seharusnya dapat mengurangi tingkat impornya saat terjadinya lonjakan nilai tukar dengan memaksimalkan ekstraksi domestik.

Hal ini seharusnya dapat menekan kerugian negara dari mahalnya impor minyak. Sayangnya, situasi ini tak dapat dimaksimalkan pelaku bidang bidang usaha yang dimaksud tercermin dari tingkat terminasi kontrak hingga mencapai 49 sepanjang 2020-2023.

Red

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *