Jakarta,REDAKSI17.COM – Langkah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada kini terbuka lebar. (MK) memberikan ‘karpet merah’ kepada putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat putusan tentang gugatan syarat calon presiden kemudian juga calon duta presiden di tempat tempat UU Pemilu.
Kemarin, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara nomor: 90/PUU-XXI/2023 dengan menyatakan Pasal 169 huruf q UU pemilihan umum 7/2017 persoalan syarat usia capres juga cawapres paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 juga bukan memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hakim konstitusi mengubahnya jadi berusia paling rendah 40 tahun atau pernah juga sedang menduduki jabatan yang dimaksud dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Artinya, orang yang digunakan belum berusia 40 tahun sanggup maju jadi capres atau cawapres selama berpengalaman jadi kepala daerah atau jabatan lain yang dimaksud dipilih melalui pemilu.
Sejumlah pakar hukum tata negara mengolok Mahkamah Konstitusi (MK) pasca putusan persoalan gugatan UU itu.
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ menilai MK saat ini bukan lagi penjaga konstitusi, melainkan penjaga keluarga. Hal ini bertalian dengan hubungan Ketua MK Anwar Usman dengan Gibran selaku paman lalu keponakan. Menurut Castro, reputasi MK telah terjadi terjadi hancur.
“Putusan MK yang yang mengabulkan permohonan syarat capres-cawapres ini tidaklah belaka meruntuhkan kepercayaan publik terhadap MK, tapi juga merobohkan pilar lembaga sebagai the guardian of constitution. Pilar itu saat ini berubah jadi the guardian of family,” ujar Castro saat dihubungi, Selasa (17/10).
“Reputasi MK rusak sebab perilaku serta cara berpikir hakim-hakimnya sendiri yang dimaksud lebih besar tinggi kental syahwat politiknya jika dibandingkan dengan nalar berpikirnya,” imbuhnya.
Menurut dia, putusan MK yang mana dimaksud seolah mengakomodasi kepentingan Gibran di dalam tempat Pilpres 2024 mempunyai dampak yang mana digunakan besar. Castro menyinggung legitimasi pemilihan umum 2024.
“Tentu putusan ini berdampak besar. Akan terjadi krisis legitimasi terhadap putusan-putusan MK berikutnya, termasuk putusan sengketa pemilihan umum 2024 nanti. Kondisi ini berbahaya jika MK tak ada segera berbenah,” kata pengajar dari Universitas Mulawarman (Unmul) itu.
Castro menawarkan solusi untuk mengembalikan muruah MK. Dalam jangka pendek, ia mendesak agar Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) segera dibentuk untuk memproses etik Ketua MK Anwar Usman.
“Dengan alasan yang bersangkutan terlibat konflik kepentingan dalam putusan a quo yang mana menguntungkan ponakannya sendiri,” kata Castro.
“Dalam jangka panjang, MK harus dijauhkan dari kepentingan dengan cara mengatur ulang proses seleksi kemudian sistem pengisian hakim-hakim MK yang dimaksud independen dan juga juga mandiri,” ucapnya.
Sementara itu, Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan sebelum ada putusan syarat usia capres lalu cawapres, MK sudah diolok-olok publik. Hal itu terlihat dari foto yang tersebut digunakan beredar seperti ‘Mahkamah Keluarga’ hingga konten video ‘Pamanku dari MK’.
Ia juga mengatakan reputasi MK sudah sangat turun. Legitimasi MK pun makin berkurang.
“Cantolan legitimasi lembaga pengadilan itu kan sebenarnya kepercayaan rakyat lalu kepercayaan umum itu cantolannya adalah argumen mereka,” kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com.
“Ini kan argumen dia parah betul. Sebelum keluarnya putusan kemarin kan merekan sudah diolok-olok, ada Mahkamah Keluarga, ada lagu ‘Pamanku dari MK’, jadi benar-benar sudah diolok-olok, direndahkan banget, kemarin tambah konfirmasi. Jadi, memang reputasinya turun sekali,” imbuhnya.
Bivitri pun sempat menyinggung MK akan meneguhkan dinasti urusan kebijakan pemerintah jika mengabulkan permohonan yang mana digunakan mengakomodasi kepentingan Gibran menjadi capres atau cawapres dalam dalam pemilihan umum 2024. Ia menilai kondisi itu lebih besar banyak parah dibandingkan dengan zaman Soeharto.
Hal itu disampaikan Bivitri dalam webinar bertajuk ‘Ancaman Politik Dinasti Menjelang pilpres 2024?’, Minggu (15/10) lalu.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Wiratraman menambahkan MK tiada cukup kuat jadi penyeimbang kekuasaan pada tempat tengah menguatnya rezim otoritarian serta juga antidemokrasi.
Menurutnya, MK justru tunduk dalam kuasa oligarki dikarenakan preferensi putusannya yang dimaksud dimaksud tambahan menempatkan upaya menopang kepentingan urusan urusan politik oligarki. Alih-alih menyebut sebagai ‘Mahkamah Keluarga’, Herlambang lebih lanjut besar memilih menjuluki MK sebagai ‘Mahkamah Kartel’.
“Saya pernah memproduksi tulisan kenapa MK ini lebih besar lanjut cocok disebut sebagai Mahkamah Kartel. Ketika dia cuma diorientasikan atau ditaruh atau ditempatkan dalam posisi yang digunakan sebenarnya melumasi kepentingan kartel,” kata Herlambang.
“Lalu sampai pada titik mengonfirmasi sendiri dari putusan ke putusan. Baik itu yang digunakan yang disebut terakhir UU Cipta Kerja ataupun yang mana kemarin (perkara nomor 90/2023), itu kan mengonfirmasi kartelisasi urusan kebijakan pemerintah dalam sistem tata negara. Terutama ketika melihat MK ternyata justru gagal menyeimbangkan kekuasaan kemudian masuk dalam pusaran kuasa oligarki itu,” imbuhnya.
Herlambang turut menawarkan solusi untuk menyelamatkan lalu mengembalikan muruah MK. Ia mengatakan semua pihak harus sadar bahwa saat ini sistem urusan kebijakan pemerintah berada pada titik nadir oleh sebab itu oligarki kekuasaan melekat dalam sistem ketatanegaraan.
“Solusinya enggak ada pilihan lain, bongkar semua sistem kuasa oligarki yang tersebut dimaksud itu bertemali satu dengan yang mana lain,” tandasnya.
Red