Yogyakarta (15/06/2025) REDAKSI17.COM – Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyambut penuh hangat dan positif penyelenggaraan Kongres Diaspora Jawa Internasional Tahun 2025. Kongres ke-6 yang rutin digelar setiap dua tahun sekali sejak 2015 ini, menjadi ajang temu kangen orang-orang keturunan Jawa di seluruh dunia dengan tanah leluhurnya.
Pada agenda dialog bersama Diaspora Jawa Internasional yang berlangsung Sabtu (14/06) malam di Sasana Hinggil, Yogyakarta, Sri Sultan pun mengapresiasi arah strategis yang dipilih oleh komunitas diaspora ini. Lantaran, komunitas diaspora ini tak hanya terus bergerak untuk menyambungkan jaringan antardiaspora, namun juga melestarikan warisan budaya, dan menggerakkan kolaborasi ekonomi berbasis nilai-nilai Jawa.
Dalam sambutannya, Sri Sultan menyebut, kisah diaspora Jawa merupakan salah satu narasi sejarah penting dalam jagat peradaban Nusantara. Sebuah perjalanan panjang dari manusia-manusia Jawa yang menyeberangi benua, melintasi samudra, dan membangun kehidupan baru di negeri orang.
Mengenai sejarah diaspora Jawa, dijelaskan Sri Sultan, migrasi orang Jawa ke Suriname, dimulai pada tahun 1890, dengan kedatangan pekerja kontrak pertama di perkebunan. Hingga pertengahan abad ke-20, tercatat hampir 30.000 orang Jawa menetap di sana, yang kemudian membentuk komunitas tersendiri.
“Namun, mereka tidak semata-mata menjadi pekerja, melainkan menjadi penjaga warisan budaya, yang mampu beradaptasi dan menciptakan identitas baru yang unik, yakni akulturasi antara Jawa dan Suriname. Tahun 1975 menjadi titik penting, ketika Suriname meraih kemerdekaan. Banyak orang Jawa bermigrasi ke Belanda, melanjutkan babak baru, sebagai bagian dari migrasi pascakolonial, yang dipicu oleh dinamika sosial-politik, dan pencarian peluang hidup yang lebih baik,” terang Sri Sultan.
Sementara, di wilayah Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, dan bahkan Kupang di bagian timur Indonesia, migrasi orang Jawa juga berlangsung secara historis dan berkelanjutan. Dorongan utamanya adalah ekonomi, keinginan untuk membangun harapan baru.
“Patut disyukuri, para diaspora ini tidak melupakan akar budayanya. Di tanah rantau, mereka tetap melestarikan bahasa, kesenian, serta tradisi leluhur, bahkan memberi kontribusi nyata pada dinamika budaya lokal. Kesemuanya menjadi bukti, bahwa budaya Jawa bukan hanya bertahan, tetapi juga menyebar dan membaur secara alami, dalam ekosistem budaya global,” tutur Sri Sultan.
Maka, Sri Sultan mengatakan, dalam memahami sejarah diaspora Jawa, bukan tentang nostalgia semata, melainkan jalan untuk merajut kembali koneksi lintas generasi. Pun, guna memperkuat jati diri dan menggugah kesadaran bahwa warisan budaya Jawa, hidup dan terus tumbuh, di mana pun tanah dipijak dan langit dijunjung.
“Kongres tahun ini pun menandai suatu babak penting, seiring tema ‘Memayu Hayuning Bawana’, yaitu untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah dan harmonis. Tema ini bukan sekadar semboyan, melainkan panggilan jiwa, bagi siapa saja yang menyadari, bahwa kehidupan bukan sekadar untuk dijalani, tetapi untuk dimuliakan,” ucap Sri Sultan.
Melalui kunjungan di berbagai lokasi, Sri Sultan percaya, peserta kongres tidak sekadar berjalan di permukaan tanah Jawa, tetapi menyentuh batin tanah Jawa. “Setiap sajian jamu, setiap langkah di tanah Wulenpari, setiap narasi tradisi yang didengarkan, sejatinya adalah refleksi yang mengajak bercermin pada asal-usul. Maka, saya berharap, yang saudara bawa pulang bukan hanya foto kenangan atau cendera mata, tetapi makna batiniah yang mengendap dalam diri,” ungkap Sri Sultan.
Untuk itu, bagi Sri Sultan, jaringan diaspora Jawa bukan hanya sekumpulan individu yang tersebar, melainkan seperti rambatan akar bambu yang saling menopang, tumbuh dengan sunyi, tetapi kokoh. “Ia bukan struktur, tetapi rasa. Bukan hanya teknologi, tetapi niat dan tata krama. Itulah sebabnya, budaya Jawa menempatkan ‘unggah-ungguh’ dan ‘subasita’ sebagai fondasi peradaban, karena dari tutur dan sikap yang halus, lahir peradaban yang adiluhung,” kata Sri Sultan.
Momentum kongres ini pun diharapkan dapat menjadi suluh penerang bahwa di mana pun berada, selama nilai-nilai Jawa dihayati, semuanya tetap satu dalam rasa. “Satu dalam budaya, satu dalam darma ‘Hamemayu Hayuning Bawana’ untuk tanah dan budaya Jawa,” pungkas Sri Sultan.
Pada kesempatan yang sama, Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro yang selama hampir 15 tahun ini telah membersamai dan mengayomi para diaspora Jawa datang kembali ke tanah leluhurnya mengutarakan bahwa sudah menjadi kewajiban pihaknya untuk bisa memberikan nilai-nilai baik kebudayaan Jawa kepada para diaspora Jawa. Para peserta kongres diaspora Jawa yang hadir berasal dari berbagai negara, seperti Suriname, Kaledonia Baru, Belanda, Singapura, Malaysia, dan lainnya.
“Tujuan dari kongres ini, yakni kami para diaspora Jawa terus berproses, terus kembali, dan ingat tanah Jawa sebagai tanah leluhur kami. Kami pun siap untuk menjadi ujung tombak kebudayaan Jawa di seluruh dunia,” sebut KPH Wironegoro.
Mengangkat tema ‘Hamemayu Hayuning Bawana’, melalui kongres ini, pihaknya berusaha mengungkap 3 hal. Pertama mengetahui penyebutan paling tepat untuk Diaspora Jawa sebagai identitas kultural. Kedua, mengajak diaspora Jawa kembali ke akar rumputnya, mengetahui Jawa secara peradaban berasal dan bermula dari mana.
“Yang ketiga adalah kami ingin menanamkan nilai-nilai budaya Jawa, yaitu unggah-ungguh, suba sita, dan tata krama, seperti ‘aku sopo, karo sopo, nanti aku kudu kepiye’,” ujar KPH Wironegoro.
Adapun Kongres Diaspora Jawa Internasional ke-6 kali ini diselenggarakan di dua daerah, yaitu Solo dan Yogyakarta pada 9-16 Juni 2025. Di Solo, peserta kongres salah satunya berkunjung ke Keraton Surakarta dan mengikuti pelatihan jamu di Unit Pelaksana Fungsional Pelayanan Kesehatan Tradisional (UPF Yakestrad) Tawangmangu, Karanganyar. Sementara di Jogja, selain dialog bersama Sri Sultan ini, peserta kongres mengikuti kegiatan yang berpusat di Desa Wulenpari, Gunungkidul dan acara lain dengan para pelaku UMKM.
Humas Pemda DIY