Sleman (09/09/2025) REDAKSI17.COM – Dikenal sebagai dua sejoli kuliner khas Kaliurang, Jadah Tempe Mbah Carik bukan sekadar cemilan. Ia adalah warisan rasa yang bertahan dalam ingatan.
Terbuat dari ketan dan kelapa yang dipadukan dengan tempe bacem gurih-manis, menciptakan kombinasi tekstur lembut, kenyal, dan aroma menggoda. Sejak tahun 1950-an, karyanya dimulai oleh Ngadikem Sastrodinomo, seorang carik (juru tulis desa) yang membuka warung kecil di Telaga Putri, Kaliurang.
Inovasi memadukan jadah dan tempe bacem menarik perhatian warga sekitar, termasuk utusan Keraton. Sultan HB IX bahkan menyarankan nama “Mbah Carik” untuk membedakan kuliner ini dari yang lain. Sejak saat itu, nama Mbah Carik melekat sebagai penanda cita rasa otentik, bahkan menjadi makanan kegemaran keluarga Keraton Yogyakarta.
“Kalau dulu itu ada beberapa penjual jadah. Kebetulan dari keraton itu sering belinya di tempat si Mbah. Biar nggak keliru kalau utusan itu, makanya dari keraton dikasih nama Mbah Carik. Biar kalau nyari kan mudah, carilah jadah tempe yang namanya Mbah Carik,” kisah Beti, karyawan di warung tersebut, pada Senin (09/09).
Semarak jadah tempe bukan sebatas soal lidah, tapi juga kebanggaan budaya. Pada 26 Mei 2025, Jadah Tempe resmi dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) DIY, bersama 31 karya budaya lainnya yang mencerminkan identitas dan nilai-nilai sosial masyarakat Yogyakarta.
Cita rasa jadah tempe bergantung pada kesederhanaan bahan yaitu ketan, kelapa, garam, tempe, tahu, dan gembus. Namun, pemilihan bahan baku tidak bisa sembarangan.
“Ada ketan itu kadang macam-macam. Diperlakukan sama, tapi hasil jadah bisa beda. Ada yang empuk, ada yang kaku. Ada yang jadi agak kuning padahal dicuci bersih. Mungkin karena ketan impor, atau kadang lokal. Kalau di sini biasanya dua-duanya dipakai, kadang dicampur,” ujar Beti.
Jadah dibuat dari kelapa yang dikupas, dicuci, lalu diparut, dengan ketan yang harus direndam agar empuk sebelum dikukus sekitar satu setengah jam, kemudian ditumbuk. Tempe bacem direbus dengan gula dan garam selama dua hingga tiga jam.
Untuk menjaga kualitas, Mbah Carik memiliki pemasok tetap. “Tempe dan tahu itu punya pemasok sendiri. Udah punya langganan, jadi nggak cari-cari yang lain. Itu buat quality control juga,” tambah Ibu Beti.
Hal serupa berlaku untuk kelapa. Meski harga kelapa sering naik turun, harga jadah tempe sebisa mungkin tetap dipertahankan agar tidak membebani pelanggan.
Pembuatan jadah melalui tahapan panjang yang menjadi ciri khas. Dimulai dari mengupas kelapa, mencuci, lalu memarut. Ketan direndam lebih dulu agar empuk saat dikukus.
“Setelah itu dicampur dengan garam aja, dikukus kurang lebih satu setengah jam, ya setelah itu baru ditumbuk,” jelas Beti.
Sementara itu, baceman membutuhkan waktu lebih lama. “Kalau untuk bacemnya, tempe itu cuman direbus dengan gula sama garam aja. Tempe, tahu, gembus sama prosesnya. Bacemnya kurang lebih ya 2–3 jam,” tuturnya.
Proses yang sederhana ini justru menjadi kunci kenikmatan yang konsisten selama puluhan tahun. Tekstur lembut dan lembap dari jadah berpadu dengan legitnya tempe bacem, menciptakan sensasi “Burger Jawa” yang tak lekang oleh waktu.
Di dapur Mbah Carik, tumpukan kayu bakar masih terlihat berdampingan dengan kompor gas. Meski modernisasi memungkinkan penggunaan gas, kayu tetap jadi andalan.
“Kalau sini cenderungnya pakai kayu. Jadi ada kayak sangit-sangitnya gitu mungkin ya. Tapi kalau produksinya nggak banyak, kita pakai gas. Kalau bikinnya 5 kilo ke atas, pasti pakai kayu,” tutur Beti.
Bukan hanya jadah, baceman pun lebih sering direbus dengan kayu. Cara ini dipercaya memberi aroma khas sekaligus menghemat gas untuk produksi besar.
Kini, di tengah sorotan sebagai WBTb, harapan bersama adalah agar jadah tempe tetap dikenal luas, selalu dirindukan para perantau, dan terus menjadi identitas kuliner abadi di Jogja.
“Harapannya untuk jadah tempe itu tetap dikenal masyarakat luas. Bagi yang di luar kota tetap kangen, kalau pulang ke Jogja harapannya tetap mencari. Biar tetap menjadi makanan yang selalu dirindukan,” tutup Ibu Beti.
Bagi sebagian orang, julukan “Burger Jawa” hanyalah metafora. Namun lebih dari sekadar julukan, jadah tempe adalah simbol kehangatan desa, kreativitas rakyat kecil, dan jejak budaya yang kini diakui negara. Dari dapur sederhana dengan kayu bakar, aroma jadah tempe terus mengepul, menjaga rasa, sejarah, dan kerinduan yang tak pernah padam.
Humas Pemda DIY