Jakarta,REDAKSI17.COM – Bank Indonesia (BI) menyebut ada tekanan global dan domestik yang membuat nilai tukar rupiah melemah dalam beberapa hari terakhir. Adapun saat ini, mata uang Garuda berada di posisi Rp 16.607 per dolar Amerika Serikat (AS).
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan tekanan kondisi global dan domestik membuat rupiah melemah lebih dari Rp 16.500. Meski begitu, BI berkomitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
“Beberapa hari yang lalu dan memang kemudian di minggu hari-hari terakhir, ada tekanan dari global dan domestik sehingga kemudian melemah menjadi Rp 16.500. Kami terus berkomitmen kuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ungkap Perry dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi XI DPR RI, Senin (22/9/2025).
Namun jika dilihat dari beberapa bulan lalu, terang Perry, nilai tukar rupiah mulai berada di posisi yang stabil. Ia menjelaskan, rupiah sempat tembus lebih dari Rp 17.000 per dolar AS saat Presiden Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal.
“Kalau kita lihat, nilai tukar rupiah yang pada awal April 2025, di mana pada waktu itu pertama kali diumumkan resiprokal tarif pada waktu itu pernah mencapai sekitar Rp 17.000 bahkan di atas Rp 17.000 dan kemudian kami kemarin telah melakukan stabilisasi sehingga kemarin menguat ke 16.300 beberapa hari yang lalu,” jelasnya.
Perry menegaskan, BI berkomitmen menjaga nilai tukar rupiah melalui intervensi luar negeri di pasar non-deliverable forward atau pasar valuta asing luar negeri maupun transaksi secara tunai, spot, dan domestik. Selain itu, BI juga melakukan pembelian SBN Sekunder untuk meningkatkan likuiditas.
“Kami memandang bahwa nilai tukar rupiah adalah salah satu bagian penting dari stabilitas perekonomian dan stabilitas dari negara,” tutupnya.
Diketahui, pelemahan nilai tukar rupiah terjadi seiring kebijakan pemangkasan suku bunga acuan The Fed beberapa waktu lalu. Kala itu, dolar AS tercatat menguat lebih dari Rp 16.500 dan terus melanjutkan trennya hingga hari ini.
Pemangkasan suku bunga acuan The Fed dilakukan karena kekhawatiran meningkatnya angka pengangguran di AS, terutama di kalangan kelompok kulit hitam, pekerja muda, serta jam kerja mingguan yang terus menyusut.