Gunungkidul,REDAKSI17.COM — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati secara resmi membuka Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik Tahun 2025 di Balai Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar, Senin(22/9/2025).
Kegiatan ini mengusung tema “Implementasi Program Unggulan GNPI melalui Sinergi Pertanian Berkelanjutan: Paham Iklim, Petani Tangguh”.
Acara tersebut turut dihadiri Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, beserta jajaran pemerintah daerah. Ketua penyelenggara, Anita Windrati, menyampaikan bahwa pelaksanaan SLI bertujuan memberikan pemahaman pentingnya informasi cuaca dan iklim bagi para petani, khususnya petani hortikultura bawang merah dan cabai. Selain itu, kegiatan juga menyasar penyuluh pertanian lapangan (PPL) serta pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT).
“Materi utama meliputi pemanfaatan informasi cuaca, pengenalan alat ukur cuaca dan iklim, serta pemahaman analisis iklim. Harapannya, petani bisa lebih adaptif dalam menghadapi dinamika cuaca ekstrem,” ujarnya.
Peserta SLI kali ini berjumlah 60 orang, terdiri dari 47 petani hortikultura, 5 PPL/POPT, serta 8 perwakilan dari Kalurahan Kedungpoh. Mereka berasal dari berbagai kelompok tani dan kelompok wanita tani di wilayah Kapanewon Nglipar.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati Gunungkidul menegaskan bahwa pertanian adalah tulang punggung perekonomian daerah, namun rentan terhadap perubahan iklim. Oleh sebab itu, program SLI dinilai sangat penting untuk memperkuat kemampuan adaptasi petani.
“Saya memberikan apresiasi kepada BMKG Stasiun Klimatologi DIY yang terus mendampingi petani melalui metode learning by doing. Dengan begitu, para petani tidak hanya memahami teori, tetapi juga langsung mempraktikkan bagaimana menganalisis dan menerapkan informasi iklim dalam usaha tani,” ungkap Joko Parwoto.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya kesiapan petani menghadapi fenomena cuaca ekstrem. Menurutnya, intensitas cuaca ekstrem, baik basah maupun kering, semakin meningkat dari tahun ke tahun.
“Cuaca ekstrem sebenarnya bisa diprediksi sebelumnya. Petani perlu terbiasa membaca informasi cuaca, bahkan cukup lewat gawai, untuk menyesuaikan pola tanam. Dengan cara ini, kerusakan tanaman dapat diminimalisir, hasil panen lebih optimal, dan ketahanan pangan semakin kuat,” jelas Dwikorita.
Ia menambahkan, kemampuan petani dalam memahami iklim akan berkontribusi pada keberhasilan swasembada pangan dan pengendalian inflasi.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gunungkidul.