Home / Daerah / Diawali Pertunjukan Wayang Wong, Pameran Pangastho Aji Singkap Laku HB VIII

Diawali Pertunjukan Wayang Wong, Pameran Pangastho Aji Singkap Laku HB VIII

Yogyakarta (27/09/2025)REDAKSI17.COM – Pameran akhir tahun Keraton Yogyakarta bertajuk ‘Pangastho Aji, Laku Sultan Kedelapan’, secara resmi dibuka pada Jumat (26/09) malam, di Kagungan Dalem Pagelaran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pembukaan pameran tersebut, diwarnai dengan pertunjukan seni Wayang Wong lakon Parta Krama, yang tampil apik menyedot perhatian para penonton.

Dalam kesempatan ini, pameran temporer dibuka langsung oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang turut menyaksikan pertunjukan wayang wong karya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut. Sri Sultan mengungkapkan, pameran Pangastho Aji ialah sebuah laku ziarah budaya yang menyingkap laku Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

“Beliau, Sang Raja Kedelapan, mengajarkan kepada kita bahwa kekuasaan tanpa kebudayaan hanyalah kekosongan, dan kebudayaan tanpa keberpihakan pada rakyat hanyalah hiasan belaka. Ia dikenal sebagai pemimpin yang menumbuhkan “demokrasi seni”, membuka pintu keraton, agar denyut tari, gamelan, dan wayang wong dapat dirasakan kawula, bahkan para pelajar asing yang datang menimba ilmu. Inilah teladan kepemimpinan yang sejati, tidak meninggikan sekat, melainkan menyalakan pelita bagi semua,” jelas Sri Sultan.

Lebih dari itu, Sri Sultan menyebut, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menegaskan, bahwa modernisasi tidak harus merampas tradisi. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menyongsong pendidikan barat, mengutus putra-putrinya belajar ke Belanda, sekaligus tetap memelihara kearifan Jawa. Beliau merintis industrialisasi awal Yogyakarta, tetapi tetap memastikan kebudayaan menjadi dasar pijakan.

“Inilah keluhuran seorang pemimpin, yang mampu menautkan “sangkan paraning dumadi”, akar dan tujuan hidup, dengan denyut zaman yang terus berubah. Dan di tengah perjalanan bangsa Indonesia kini, sabda leluhur itu kembali terasa relevan. Pembangunan yang kita kejar, akan kehilangan jiwa jika abai terhadap kerakyatan dan keadilan. Hal ini senada dengan falsafah “Hamemayu Hayuning Bawana”, sebuah kewaiban moral, untuk memelihara keindahan dan keselamatan dunia, serta menjaga keseimbangan jagad lahir dan batin,” tutur Sri Sultan.

Untuk itu, melalui pameran ini, Sri Sultan pun mengajak semua pihak untuk merenungi teladan Sri Sultan HB VIII, sebagai inspirasi peradaban Indonesia masa kini: demokrasi yang bekerakyatan, pembangunan yang inklusif, serta resilien. “Dengan demikian, bangsa ini akan mencapai cita-cita “gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja” yang dalam bahasa global dapat kita sebut sebagai “sustainable and prosperous society”,” kata Sri Sultan.

Pada kesempatan yang sama, Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara menyampaikan, di penghujung tahun ini, tema Sri Sultan Hamengku Buwono VIII menjadi pokok bahasan dari sajian di ruang-ruang pamer, setelah beberapa tokoh Sultan lainnya, lebih dulu diwujudkan pada pameran Jayapatra maupun Lenggahing Harjuno. Dalam catatan sejarah, termasuk pada sumber lisan bahwa GPH Puruboyo dianugerahi gelar Hamengku Negoro IV setelah ketiga saudara laki-lakinya tidak dinobatkan.

Penobatannya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pun diwarnai dengan peristiwa politik yang begitu kental. Meski demikian, masa pemerintahannya dipenuhi dengan berbagai pembaharuan di bidang sosial, ekonomi, hingga seni pertunjukan. Pada masa pemerintahan yang bersamaan, praktik perwujudan budaya visual masif terjadi.

“Perubahan kentara terlihat pada ornamen-ornamen bangunan keraton yang begitu megah setelah dipugar. Penanda kekuasaan dan sengkalan dengan begitu nyata tampak pada sudut-sudut bangunan. Dalam seni pertunjukan, upaya untuk mewujudkan karakter dari setiap penari wayang wong dengan serius dikerjakan,” ucap GKR Bendara.

GKR Bendara menuturkan, Catatan Doktor Van Blankenstein, seorang jurnalis dari Belanda menggambarkan tentang kemiripan situasi Keraton Yogyakarta dengan Kekaisaran Jerman tempo dulu. Kaisar Wilhem I konsen terhadap pemajuan budaya, sehingga proyek-proyek seni tumbuh semarak. Demikian pula di Yogyakarta, semasa Hamengku Buwono VIII bertakhta, wayang wong merupakan seni yang diperhatikan dengan serius. Pertujukan ini sangat berkembang di Yogyakarta, didukung oleh mayoritas masyarakat, sekaligus diwariskan hingga pemerintahan sultan-sultan berikutnya.

“Terlepas dari warisan budaya Sultan Kedelapan, perlu dipahami bahwa pemerintahan saat ini dihadapkan pada gambaran moderitas yang mencolok. Proses mewarisi budaya bukan sekadar menjaga kemurnian semata, melainkan melestarikannya sekaligus mengembangkan dalam satu jalan yang bersamaan,” papat GKR Bendara.

Potret alih fungsi bangunan keraton hingga kontinuitas institusi pendidikan yang diinisiasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pun menjadi potret yang terus dijaga hingga saat ini. Ruang-ruang pendidikan seperti Kridha Beksa Wirama, Habirandha, dan beberapa institusi lain yang dikelola pemerintah maupun swasta, memberi gambaran nyata tentang pelestarian nilai dan pengembangan ilmu, serta pemanfaatan ruang bagi masyarakat agar terus bertumbuh. Semangat beradaptasi dengan zaman secara nyata mewujud dalam setiap gelaran pameran.

“Mengusung tajuk Pangastho Aji, Laku Sultan Kedelapan, pameran ini mengajak pengunjung untuk mendalami lokus kehidupan hingga kuasa dari sang pangeran Jawa yang menjalani patron sejarah Jawa baru. Pangastho Aji menghadirkan tafsir perjalanan Sultan melalui pembacaan fenomena seni-sosial pada awal abad ke-20, sekaligus memanjakan setiap pengunjung dalam sudut sudut artistik ruang pamer. Keraton Yogyakarta terus mengundang seluruh masyarakat untuk hadir langsung, menjadi bagian dari proses pelestarian sejarah dan budaya melalui setiap kegiatan yang diselenggarakan,” terang GKR Bendara.

Pameran kontemporer Pangastho Aji yang resmi dibuka pada 26 September 2025 ini, dapat mulai dikunjungi oleh masyarakat umum pada 27 September 2025 hingga 24 Januari 2026, di Kompleks Kedhaton Keraton Yogyakarta pada pukul 08.00-14.00 WIB. Selain pameran utama, akan ada rangkaian acara pendukung yang menarik, seperti Tur Kuratorial, Public Lecturer, Jelajah Pesanggrahan, dan Lokakarya Budaya.

Adapun pertunjukan Wayang Wong lakon Parta Krama yang ditampilkan dalam pembukaan tersebut mengisahkan cerita yang bermula dari rasa cinta Raden Burisrawa terhadap Dewi Wara Sembadra, membuat Burisrawa berlaku curang dan memfitnah Raden Gatutkaca yang disebutnya telah merebut srah-srahan yang digunakan untuk melamar sang dewi dari tangan Burisrawa. Hal ini membuat Raden Sentyaki marah dan terjadilah pertikaian antara Burisrawa dan Sentyaki, yang berhasil dilerai oleh Prabu Baladewa.

Namun, ternyata permasalahan tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba, datang utusan dari negara Ngendracana untuk melamar Dewi Wara Sembadra yang ternyata telah dipasangkan dengan Raden Harjuna. Hal itu membuat Prabu Suryowasesa murka, hingga terjadilah peperangan besar antara negara Dwarawati melawan negara Ngendracana. Perang akhirnya dimenangkan oleh negara Dwarawati dan diakhiri dengan kebahagiaan akan pernikahan antara Raden Harjuna dengan Dewi Wara Sembadra.

Humas Pemda DIY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *