Yogyakarta (02/10/2025) REDAKSI17.COM – Pemda DIY menegaskan Maxride, layanan transportasi berbasis aplikasi, bukanlah angkutan umum resmi karena beroperasi dengan pelat hitam. Karena itu, kabupaten/kota diminta segera mengambil sikap tegas.
Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menjelaskan bahwa sepeda motor pribadi yang difungsikan untuk mengangkut penumpang otomatis masuk kategori angkutan umum. Aturan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sudah menegaskan klasifikasi angkutan orang. Karena itu, status Maxride tidak bisa serta-merta dianggap sah jadi angkutan umum dan beroperasi dimana saja hanya karena kendaraannya berplat resmi hitam.
“Maxride ini kan sepeda motor pribadi, platnya jelas sepeda motor. Tapi begitu dipakai mengangkut penumpang, itu masuk kategori angkutan umum. Nah, secara izin, tidak ada,” ujar Ni Made, Rabu (1/10) di Kantor Sekda DIY, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Ia juga mengingatkan bahwa kewenangan penerbitan izin berada di kabupaten/kota. Apalagi, operasional Maxride kerap melintasi batas wilayah. “Jangan hanya bicara di kota, tapi semua kabupaten harus punya sikap. Karena layanannya lintas batas, dari Sleman ke Kota, dari Bantul ke Kota, dan seterusnya. Kalau tidak diatur, masyarakat bingung,” ujarnya.
Lebih jauh, Ni Made membandingkan Maxride dengan becak motor bentor yang sejak awal statusnya ilegal. Menurutnya, situasi Maxride berbeda karena motor yang dipakai sah secara registrasi, tetapi dipakai untuk mengangkut orang.
“Kalau bentor jelas ilegal. Nah, Maxride ini beda. Motor pribadinya legal, tapi fungsinya dipakai angkutan orang. Itu yang harus dibatasi kabupaten/kota, boleh beroperasi di mana, kawasan mana, atau bahkan tidak boleh sama sekali,” kata Ni Made.
Bersama Polda DIY, Pemda juga sempat membahas keberadaan aplikator Maxride. Namun hingga kini, aplikator dianggap belum kooperatif. “Kalau terus tidak kooperatif, bisa saja ujungnya ada langkah hukum. Kita juga sudah koordinasi dengan Ditlantas dan kepolisian,” jelas Ni Made.
Namun begitu, Ni Made menyebut masih ada peluang Maxride beroperasi di daerah yang minim layanan transportasi umum, misalnya di Gunungkidul atau Kulon Progo. Namun pengaturannya tetap harus melalui perizinan resmi sesuai kebutuhan wilayah masing-masing.
“Sebenarnya bukan tidak boleh, tapi layanannya itu mau diatur seperti apa, mungkin ada batasan layanan. Nah tinggal pengaturan, kabupaten kota seperti apa untuk itu. Misal Gunungkidul Kulon Progo monggo saja kalau diatur kawasannya di mana, terus kalau Kota mau bagaimana, misal tidak ya tidak,” terangnya.
Sementara untuk Kota Yogyakarta, Made menilai penambahan moda baru hampir tidak mungkin dilakukan. Jalanan yang sempit dan padat sudah penuh dengan beragam moda transportasi lain. Karena itu, Pemda DIY berencana kembali mengundang pemerintah kabupaten/kota untuk membahas aturan dan sosialisasi soal Maxride.
“Ya harus rapat lagi, kita kan juga tidak bisa serta merta melakukan penegakan, harus ada sosialisasi. Mau kita semua yang ada di DIY, terutama di perkotaan, ada pengaturan yang baik,” tutupnya.
Senada dengan hal itu, Kepala Dinas Perhubungan DIY Chrestina Erni Widyastuti menjelaskan bahwa kewenangan izin ada di kabupaten dan kota. Ia mengingatkan bahwa sebagian pemerintah daerah sudah mengeluarkan surat edaran untuk tidak memberikan izin kepada Maxride, meski di lapangan masih ditemukan yang sebaliknya.
“Kalau belum ada perizinan, semestinya harus dilakukan penertiban. Tapi faktanya masih ada yang mengizinkan di wilayah masing-masing. Idealnya, tahapan-tahapan aturan itu berjalan. Ada regulasi, sosialisasi, baru pendekatan. Tidak hanya untuk Maxride, tapi juga untuk masyarakat, agar menggunakan kendaraan berizin,” ujarnya.
Erni menambahkan, Dishub DIY terus berkoordinasi dengan kabupaten/kota untuk menanyakan perkembangan penertiban. Menurutnya, provinsi hanya bisa mengingatkan dan mendorong penataan, sementara tindakan langsung menjadi ranah pemerintah kabupaten/kota.
“Kita ingin lalu lintas di Yogyakarta yang sudah padat tidak makin terbebani. Kalau dibiarkan, ini juga bisa menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dengan ojol maupun angkutan resmi lainnya. Maka, yang utama kita tata dulu angkutan yang sudah ada, sambil mengendalikan kemacetan,” pungkasnya.
Humas Pemda DIY