Home / Nasional / Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: MBG Jadi Sorotan

Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran: MBG Jadi Sorotan

 

Jakarta,REDAKSI17.COM – Masa satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka jatuh pada hari ini, 20 Oktober 2025. Sejumlah kebijakan dan ­program telah dicanangkan dan dijalankan oleh duet Prabowo-Gibran.

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, membeberkan capaian luar biasa dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini menjadi sorotan dunia. Sorotan menarik lainnya adalah efisiensi anggaran besar-besar­an yang berhasil dilakukan di pemerintahannya.

Prabowo mengungkap, pemangkasan anggaran yang tidak perlu ber­hasil menghemat triliunan rupiah.​”Anggarannya di awal ta­hun 2025 adalah Rp 71 triliun. Dari penghematan, efisiensi, yang saya dibantu oleh men­teri-menteri, kita bisa efi­sien­kan. Kita coret yang tidak perlu,” kata Prabowo di sela-sela prosesi wisuda Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) di Trans Lux­ury Hotel, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Sabtu 18 Oktober 2025.

Pengamat politik dan kebijakan publik dari Universitas Parahyangan (Unpar) Kristian Widya Wicaksono menilai, masih terlalu dini untuk melihat dampak dari berbagai program atau kebijakan dari Presiden Prabowo Su­bianto. Pasalnya, implementasinya pun baru setahun. Dalam kajian kebijakan, kata dia, dampak dari suatu program baru bisa terlihat antara 3 hingga 5 tahun setelah program tersebut diimplementasikan.

Contohnya, program MBG yang pada pe­laksanaannya pun masih terdapat banyak masalah. “Kalau melihat dari sisi output, maka data kuantitatif seperti daya jangkau MBG yang bisa diterima jutaan sis­wa bisa menjadi ukuran. Ha­nya, apakah tujuannya sudah tercapai? Untuk hal ini kita masih perlu menunggu dampak kebijakannya minimal dua tahun ke depan,” kata­nya, MInggu 19 Oktober 2025.

Untuk mengukur keberha­silan suatu program, kata Kristian,  maka yang harus dilihat ialah tingkat ketercapaian tujuan dalam kebijakan tersebut. Selain itu, dibutuhkan riset ilmiah untuk me­mastikan bahwa suatu kebijakan sudah mencapai tujuan yang ditetapkan atau belum. Kristian juga menyoroti ber­bagai program yang di­gu­lirkan Prabowo bersifat sentralistis atau berorientasi pada keputusan pemerintah pu­sat.

Bukan hanya pada prog­ram MBG, tetapi juga prog­ram Sekokah Rakyat, Kope­rasi Merah Putih hingga Cek Kesehatan Gratis (CKG). Menurut dia, hal itu ber­dampak negatif bagi pemerintah daerah. Mengingat, Undang-Undang tentang Peme­rintah Daerah yang lahir pada 1999 kemudian diganti de­ngan UU Nomor 32 Tahun 2024 dan diganti lagi dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 melandasi desentralisasi pemerintahan.

Dengan desentralisasi, maka pemerintah daerah dapat mengambil keputusan strategis sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Kristian berpandangan, pelemahan otonomi daerah melalui sentralisasi pemerintahan malah sudah terjadi di kepemimpin­an Presiden Joko Widodo. “Jelas negatif karena pe­ngembangan kapasitas peme­rintah daerah sudah dirintis semenjak tahun 1999 dan mu­lai tereduksi semenjak periode kedua pemerintahan Jo­kowi, yang dilanjutkan oleh Prabowo saat ini,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpad ini.

Pelemahan itu, kata dia, bisa membuat pemerintah dae­rah kembali jatuh pada pola ketergantungan terhadap pusat. “Padahal, pemberdayaan pemerintah lokal sangat krusial untuk negara seperti Indonesia, yang wilayahnya luas dan kondisi di masing-ma­sing wilayah beragam,” ujarnya.

Untuk kondisi saat ini, Kristian menambahkan, ma­sya­rakat mendesak butuh kebijakan strategis dari pemerintah untuk mengeliminasi kesenjangan ekonomi. Terutama ialah melalui pembukaan lapangan kerja untuk menyerap pengangguran. “Namun, sektor perkerjaan yang dibuka baiknya jangan mengandalkan pada sektor yang rentan terhadap keru­sak­an lingkungan hidup. Perlu upaya inovatif pemerintah dalam pembukaan lapangan pekerjaan agar berkesinambungan,” katanya.

Jauh harapan
Pengamat ekonomi dari Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi menilai, secara ke­seluruhan, program dan janji presiden selama satu tahun menjabat masih belum terasa hasilnya.

Bahkan dalam banyak hal, beberapa program terlihat tanpa perencanaan matang dan kredibilitasnya buruk. Kebijakan dan program, mulai dari efisiensi anggaran, MBG, atau Koperasi Desa Merah Putih masih baru sebatas menggugurkan kewajib­an. “Sekadar deklarasi dan launching, tapi tata kelola dan perencanaannya bu­ruk,” katanya.

Acuviata mengatakan, ba­nyak masukan yang ditujukan kepada presiden tetapi tidak didengar. Padahal, program-program tersebut mengguna­kan anggaran yang besar sehingga harus lebih tepat sasaran dan dijalankan dengan efektif. Contohnya pada program Koperasi Desa Merah Putih. Acuviarta menilai, ke depannya, program ini akan buntu. Alasannya karena proses bisnis yang tidak jelas dan tata kelolanya belum optimal.

“Terkait efisiensi anggaran, malah terjadi kerancuan. Di satu sisi harus efisiensi, tapi di sisi lain anggaran digelontorkan sehingga overbudget dan membuat APBN defisit. Katanya efisiensi, tapi malah defisit,” tuturnya. Ia menegaskan, janji presiden masih jauh dari harapan dan dalam satu tahun peme­rintahan belum terealisasi.

Meskipun demikian, program pemerintah tadi masih bisa dilanjutkan dengan merevisi­nya terlebih dahulu. “Buat perencanaannya yang jelas, prosesnya juga jelas, dan tolok ukurnya jelas. Pembenahan harus dilakukan agar tidak jadi boros ang­gar­an. Misalnya untuk prog­ram KMP dan MBG dievaluasi lagi, meski tidak harus dihilangkan, tapi volumenya di­ku­rangi agar lebih tepat sa­sar­an,” kata Acuviarta.

Ke depannya, tantangan janji presiden ini masih cu­kup besar. Selain juga disebabkan oleh banyak konse­kuensi beban pemerintahan sebelumnya. Dia berharap, pemerintah lebih efektif lagi dalam menggunakan anggaran, harus jelas, dan tidak serampangan. Jangan sampai membuat prog­ram berbiaya besar dan memberatkan pemerintah itu sendiri.

Selain itu, presiden juga dikritik agar memperbaiki se­rapan komunikasi dan informasinya. Karena menurut Acuviarta, tampak jika informasi yang sampai ke presiden cenderung lambat. “Harapan saya agar komunikasi antara masyarakat dan presiden bisa dua arah. Selama ini terkesan satu arah karena feedback dari masyarakat seperti diblokir kepada presiden,” katanya.

Abai
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai arah kebijakan nasional masih jauh dari ko­mitmen awal untuk memperkuat otonomi daerah.  Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Herman Suparman, ber­bagai kebijakan selama satu tahun terakhir justru menunjukkan gejala sentralisasi baru yang melemahkan peran pemerintah daerah. Herman menilai, program-program prioritas seperti MBG memang memiliki daya tarik politik dan dampak sosial yang luas.

Namun, dari sisi tata ke­lola pemerintahan, kebijakan itu lebih menonjolkan pende­katan top-down daripada kolaboratif dengan daerah.  “Dari sudut pandang desentralisasi-otonomi daerah, setahun pertama Prabowo-Gibran justru melupakan janji Astacita terkait penguatan otonomi daerah dan fondasi keuangan daerah,” ujarnya, Minggu 19 Oktober 2025.

Ia menyebutkan kebijakan pemangkasan transfer ke daerah (TKD) dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 dan rancangan APBN 2026 sebagai bukti melemahnya komitmen terhadap desentralisasi fiskal. Penurunan alokasi TKD, kata Herman, berbanding terbalik dengan meningkatnya porsi anggaran untuk program prioritas nasional, seperti MBG. “Kecenderungan ini menunjukkan pemerintah abai terhadap pilar pembangunan strategis lain seperti otonomi daerah dan penguatan kapasitas pemerintah daerah,” katanya.

Herman juga menyoroti absennya prinsip evidence-based policy dalam pe­nyu­sun­an kebijakan sosial ber­skala besar. Ia mencontoh­kan, pemerintah terlalu cepat me­naikkan anggaran MBG tanpa didahului evaluasi me­nyelu­ruh atas pelaksanaan program pada tahun pertama. “Pemerintah abai terhadap prinsip kebijakan berbasis bukti. Mestinya, peningkatan anggaran MBG 2026 dilaku­kan setelah ada evaluasi efektivitas dan serapan anggaran MBG tahun ini,” ujarnya.

Sumber: pikiran.rakyat.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *