Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Memasuki musim penghujan, Pemerintah Kota Yogyakarta mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit yang berpotensi muncul akibat lingkungan lembab dan genangan air, terutama leptospirosis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira yang umumnya ditularkan melalui air atau tanah yang terkontaminasi urine hewan, terutama tikus.

Kepala Seksi Pencegahan, Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu, menyampaikan bahwa Januari hingga akhir Oktober 2025 tercatat 26 kasus leptospirosis di Kota Yogyakarta, dengan 6 diantaranya meninggal dunia dengan kasus kematian terakhir terjadi pada bulan Oktober, menimpa seorang warga di Kelurahan Bumijo.

“Ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk tidak menyepelekan penyakit leptospirosis. Karena kalau tidak segera ditangani, infeksi ini bisa berakibat fatal, seperti gagal ginjal atau gangguan paru,” ujar Endang saat jumpa pers di Kantor Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kota Yogyakarta, Selasa (4/11).

Menurutnya, leptospirosis kerap muncul pada musim hujan karena peningkatan populasi tikus dan kondisi lingkungan yang lembab. Persoalan sampah yang belum sepenuhnya tertangani di perkotaan juga menjadi faktor risiko utama, sebab tumpukan sampah menjadi tempat berkembang biaknya tikus.

“Semakin banyak sampah, semakin banyak tikus. Karena itu, pencegahan bisa dimulai dari rumah, dengan menjaga kebersihan lingkungan, menutup makanan dan minuman agar tidak terkontaminasi, serta mencuci tangan dan kaki dengan sabun setelah beraktivitas, terutama setelah kerja bakti atau bersentuhan dengan air dan tanah,” ujarnya.

Kepala Seksi Pencegahan, Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu

 

Endang juga menegaskan pentingnya deteksi dini terhadap gejala leptospirosis.

“Waspadai bila muncul nyeri otot, terutama di bagian betis, disertai mata menguning atau rasa nyeri saat betis ditekan. Jangan menunggu parah. Segera periksa ke fasilitas kesehatan terdekat,” tegasnya.

Kasus kematian seringkali disebabkan oleh keterlambatan penanganan. Ia menambahkan bahwa kasus parah seringkali awalnya dikira gagal ginjal, padahal akar masalahnya adalah Leptospirosis, menyebabkan pasien sudah dalam kondisi terminal saat tiba di fasilitas kesehatan.

“Meninggalnya itu dalam kondisi klinis sudah lanjut, sehingga sudah tidak tertolong dan sudah ke rumah sakit. Kalau sudah minggu kedua, biasanya sudah komplikasi kerusakan ginjal dan organ yang lain,” ungkapnya.

Pihaknya juga membeberkan bahwa Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta juga memperkuat kapasitas tenaga medis di puskesmas melalui pelatihan bersama dokter spesialis penyakit dalam dan bekerja sama dengan enam rumah sakit rujukan. Langkah ini dilakukan untuk memastikan diagnosis dan tata laksana pasien leptospirosis dilakukan secara cepat dan tepat.

“Obatnya sebenarnya ada, tapi masalahnya sering kali pasien datang terlambat. Karena itu, peran media dan masyarakat penting untuk menyebarkan pesan kewaspadaan ini,” kata Endang

Selain menjaga kebersihan diri, ia juga mengimbau masyarakat yang bekerja di lingkungan berisiko seperti pengelola sampah dan petugas kebersihan untuk menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa sepatu bot dan sarung tangan panjang, serta menutup luka sebelum beraktivitas di tempat lembab.

Para wartawan memperhatikan paparan dari Dinkes

 

Sementara itu, Ketua Tim Kerja Surveilans Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Sholikhin Dwi Ramtana, menjelaskan bahwa upaya pencegahan leptospirosis telah dijalankan sesuai Permenko Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pencegahan, Pengendalian, dan Penanggulangan Zoonosis.

“Kami menerapkan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer melibatkan banyak sektor untuk edukasi dan pengendalian faktor risiko lingkungan. Sementara pencegahan sekunder dilakukan dengan meningkatkan kewaspadaan tenaga kesehatan agar bisa mengenali gejala sejak dini,” jelasnya.

Dinas Kesehatan juga telah melakukan survei reservoir di dua lokasi, yaitu Perumahan Lapas dan Bumijo, dengan mengambil sampel air, tanah, serta menangkap tikus untuk pemeriksaan laboratorium. “Hasil di kawasan Lapas menunjukkan sebagian besar tikus positif mengandung bakteri Leptospira,” ungkap Sholikhin.

Ia menambahkan bahwa selain tikus, hewan mamalia lain seperti anjing, sapi, kambing, dan kuda juga berpotensi menularkan leptospirosis, meskipun tikus tetap menjadi sumber utama di kawasan perkotaan.

“Jika tidak segera ditangani, maka sudah dipastikan pasti akan terminal. Ujungnya adalah nanti ya berat, jadi buruk, dan kalau sudah komplikasi ginjal dan seterusnya,” jelas Sholikhin.