Home / Politik / Menerangi Negeri dari Pinggiran: Jalan Panjang Bahlil Menyalakan Indonesia

Menerangi Negeri dari Pinggiran: Jalan Panjang Bahlil Menyalakan Indonesia

  
A. Hendra Peletteri (Wakil Direktur Kajian Strategis dan Teritorial Pemilu BSNPG

Oleh: A. Hendra Peletteri (Wakil Direktur Kajian Strategis dan Teritorial
Pemilu BSNPG

Ketika Bahlil Lahadalia dilantik sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), banyak yang mengenalnya sebagai sosok pekerja keras, lugas, dan lahir dari latar belakang sederhana. Ia tumbuh di Papua, di tempat di mana listrik bukanlah hal yang mudah didapat. Ia tahu bagaimana rasanya hidup dalam gelap, bagaimana listrik bukan sekadar fasilitas, tapi kemewahan. Maka ketika hari ini Bahlil berbicara tentang komitmen menerangi seluruh desa di Indonesia pada 2030, itu bukan sekadar program kerja, itu adalah janji pribadi dari seorang anak bangsa yang pernah hidup dalam kegelapan.

Dalam laporannya kepada Presiden Prabowo Subianto, Bahlil menyampaikan data yang mengejutkan tapi jujur, bahwa masih ada 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum teraliri listrik. Sebuah fakta yang menyakitkan di tengah gempuran modernisasi. Dari angka itu, kita melihat dua hal sekaligus, tantangan besar dan peluang emas untuk menghadirkan keadilan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.

Listrik Bukan Sekadar Cahaya: Ini Tentang Martabat dan Keadilan

Listrik selama ini kerap dilihat sebagai persoalan teknis jaringan, gardu, kabel, dan daya. Padahal, listrik adalah wajah paling nyata dari kehadiran negara. Tanpa listrik, tidak ada akses pendidikan malam hari, tidak ada usaha kecil yang bisa bertahan, tidak ada alat kesehatan yang bisa beroperasi optimal.

Ketimpangan akses listrik adalah bentuk ketidakadilan sosial yang paling kasat mata. Bagaimana mungkin kita bicara tentang revolusi industri 4.0, digitalisasi UMKM, atau pendidikan daring, ketika jutaan warga masih menyalakan pelita di malam hari?

Bahlil tampaknya memahami ini dengan sangat baik. Karena itu, pendekatan yang ia ambil bukan sekadar memperluas jaringan PLN, tapi memperluas makna keadilan energi. Bahwa listrik adalah hak, bukan hadiah. Bahwa keadilan tidak boleh berhenti di kota, melainkan harus sampai ke desa di ujung negeri.

Strategi Lapangan: Dari PLTS, Mikrohidro, hingga Biomassa

Program elektrifikasi desa tidak bisa diseragamkan. Indonesia adalah negara dengan geografi ekstrem, ribuan pulau, gunung, hutan, dan lembah. Maka pendekatan “satu teknologi untuk semua” tidak mungkin berhasil.

Di sinilah Bahlil memainkan peran strategisnya. Ia mendorong beragam sumber energi lokal sebagai solusi spesifik untuk setiap wilayah: PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) untuk daerah terpencil yang sulit dijangkau jaringan PLN, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) untuk desa di pegunungan dengan aliran sungai kecil dan Biomassa serta biogas untuk daerah pertanian dan kehutanan yang kaya bahan organik.

Kombinasi ini bukan hanya efisien, tapi berkelanjutan. Dengan pendekatan energi terbarukan, pemerintah tidak perlu membangun jaringan panjang yang mahal, dan masyarakat bisa menjadi bagian dari pengelolaan energinya sendiri.

PLN mencatat bahwa hingga akhir 2024, tingkat elektrifikasi nasional sudah mencapai 99,78%, tetapi masih ada kantong-kantong kecil yang belum terjangkau. Angka kecil itu sering kali justru yang paling sulit dijangkau dan di situlah fokus program Bahlil diarahkan

kritik klasik terhadap proyek besar pemerintah adalah masalah pendanaan. Tapi penting dipahami bahwa pembangunan infrastruktur energi berbeda dengan utang konsumtif. Biaya pembangunan listrik desa adalah investasi sosial jangka panjang yang hasilnya akan terus mengalir dalam bentuk peningkatan produktivitas ekonomi.

 

Model pembiayaan program elektrifikasi desa dilakukan melalui skema gabungan yaitu Anggaran PLN dan APBN untuk proyek strategis, investasi swasta dan skema public-private partnership (PPP) untuk daerah yang potensial secara ekonomi dan Pendanaan berbasis komunitas dan CSR untuk wilayah dengan kapasitas lokal kuat.

Dengan skema ini, Bahlil berupaya memastikan beban fiskal tidak membengkak sekaligus membuka ruang partisipasi masyarakat. Lebih dari sekadar efisiensi, ini adalah cara membangun kemandirian energi dari bawah.

Tantangan Lapangan: Dari Infrastruktur Hingga Mentalitas

Bahlil tidak menutup mata bahwa perjalanan ini panjang dan berat. Infrastruktur yang sulit, cuaca ekstrem, hingga keterbatasan SDM lokal menjadi hambatan nyata. Namun hambatan terbesar mungkin bukan di lapangan, melainkan di mentalitas birokrasi di mana banyak program berhenti di rencana tanpa menembus lapangan.

Di sinilah gaya kepemimpinan Bahlil terasa berbeda. Ia dikenal tidak betah duduk lama di kantor. Ia turun langsung, meninjau lokasi, bahkan mengawasi pembangunan secara detail. Ia tidak segan memarahi pejabat atau kontraktor yang bekerja lamban. Ia membawa semangat eksekusi, bukan retorika.

Pendekatan seperti ini penting di sektor energi. Karena sering kali, masalahnya bukan pada kurangnya dana atau teknologi, tapi lemahnya pengawasan dan komitmen di lapangan.

Manfaat Ekonomi: Ketika Cahaya Menyalakan Pertumbuhan

Ada data menarik dari Kementerian Desa dan PLN: desa yang baru teraliri listrik rata-rata mengalami peningkatan aktivitas ekonomi hingga 25–35% dalam dua tahun pertama. UMKM lokal tumbuh, hasil pertanian bisa diolah, toko dan bengkel beroperasi lebih lama, dan akses terhadap teknologi meningkat.

Listrik membuka rantai ekonomi baru. Anak-anak bisa belajar lebih lama, warga bisa menonton berita, akses internet lebih mudah, dan kualitas hidup meningkat. Semua itu menciptakan efek domino: produktivitas naik, daya beli meningkat, dan kemiskinan menurun.

Dengan demikian, program listrik desa bukan semata proyek teknis, melainkan strategi pembangunan ekonomi mikro. Ia memicu perubahan dari bawah, dari desa ke kota, bukan sebaliknya.

Energi, Keadilan, dan Politik Kehadiran Negara

Secara politis, program listrik desa adalah simbol politik kehadiran negara. Di daerah-daerah yang jauh dari pusat, sering kali kehadiran pemerintah hanya dirasakan lewat spanduk, bukan layanan. Maka ketika malam di pedalaman Papua atau Maluku kini mulai terang, itulah bentuk komunikasi paling kuat antara negara dan rakyatnya: bukan lewat pidato, tapi lewat cahaya.

Presiden Prabowo sendiri telah memberi dukungan penuh terhadap visi ini, bahkan memperluas arah kebijakan energi agar tidak hanya berorientasi pada industrialisasi besar, tetapi juga pemerataan infrastruktur dasar. Dengan dukungan politik di level tertinggi, Bahlil kini memiliki ruang manuver yang luas untuk memastikan seluruh program ini berjalan dengan konsisten dan cepat.

Cahaya Sebagai Warisan

Perjalanan menerangi Indonesia bukanlah perjalanan setahun dua tahun. Ini proyek lintas generasi, lintas kabinet, bahkan lintas kepentingan politik. Tapi di tangan seorang menteri yang lahir dari keterbatasan, tekad itu terasa lebih tulus dan realistis.

Jika 2030 nanti seluruh desa Indonesia benar-benar terang, sejarah akan mencatat bahwa seorang anak kampung dari Papua Timur bernama Bahlil Lahadalia adalah bagian dari kesuksesan itu.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *