
Jakarta,REDAKSI17.COM – Upaya menyelamatkan industri baja nasional dinilai tidak cukup hanya dengan melindungi pasar dari serbuan produk impor. Akar masalah sebenarnya berada pada ketersediaan dan pengelolaan bahan baku yang hingga kini masih bergantung pada pasokan luar negeri. Karena itu, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI, muncul dorongan kuat agar negara—melalui BUMN—turun tangan langsung mengurus bijih besi dan memperkuat rantai pasok baja dari hulu hingga hilir.
Dalam RDPU tersebut, Komisi VI memperoleh berbagai masukan dari pakar dan praktisi mengenai potensi bahan baku baja di Indonesia. Pertemuan yang digelar Selasa (25/11/2025) di Gedung Nusantara I itu dihadiri perwakilan dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia, dan Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB.
Anggota Komisi VI DPR RI, Kawendra Lukistian, menegaskan bahwa inovasi dan penguatan industri baja harus segera dilakukan. Menurutnya, persoalan daya saing baja nasional berakar pada ketergantungan bahan baku impor, yang membuat harga baja dalam negeri kalah bersaing dengan produk asing.
“Kemarin kita konsen bagaimana menyelamatkan industri baja nasional. Kenapa? Karena saat ini kita digempur produk luar dan harga kita tidak bisa bersaing. Ketika ditarik lagi, masalah utamanya apa? Bahan bakunya masih harus ditarik dari luar,” ujar Kawendra.
Ia mengatakan optimisme semakin tumbuh setelah para ahli memaparkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki cadangan bahan baku potensial. Hanya saja, pemanfaatannya membutuhkan proses tambahan, inovasi teknologi, dan dukungan kebijakan yang jelas agar struktur industri baja nasional dapat diperkuat dari hulunya.
Dalam forum, perwakilan Ikatan Ahli Geologi Indonesia menjelaskan bahwa pemanfaatan material lokal—seperti laterit besi, pasir besi, bijih primer, hingga iron slag—memerlukan pretreatment tambahan di Krakatau Steel. Selain itu, diperlukan penambahan fasilitas steel mill sebagai proses lanjutan agar produksi lebih efisien dan optimal.
Kawendra juga menyinggung persoalan blast furnace di Krakatau Steel yang pernah menjadi isu hukum. Menurutnya, fasilitas tersebut tetap harus didukung sebagai bagian dari penguatan industri baja nasional, bukan justru diabaikan.
“Kalau kita bicara Krakatau Steel, baru dua yang terpenuhi, sisanya masih ada yang perlu dilengkapi. Dan kalau merunut pada kasus beberapa waktu lalu, salah satu masalahnya adalah blast furnace,” jelas politisi Fraksi Partai Gerindra itu.
Ia berharap para ahli dapat memberikan rekomendasi teknis dan strategis yang mendorong pembenahan teknologi, proses produksi, serta tata kelola Krakatau Steel agar mampu memaksimalkan penggunaan material lokal.
Selain itu, muncul dorongan agar negara membentuk atau menunjuk BUMN yang secara khusus fokus mengurus bijih besi nasional. Kawendra menilai, dari sekian banyak BUMN yang dimiliki Indonesia, belum ada yang secara langsung memegang mandat tersebut.
“Mungkin kita perlu mendorong atau memaksa BUMN kita—entah nanti di bawah Danantara, MIND ID, ANTAM, atau yang lain—untuk fokus memikirkan bijih besi. Masa dari seribuan BUMN tidak ada satu pun yang konsen ke bijih besi?” tegasnya.
Menurut Kawendra, kebutuhan baja nasional akan terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur dan ambisi Indonesia menuju negara maju. Karena itu, negara harus turun tangan memperkuat industri baja domestik, termasuk industri turunannya.
“Kalau kita lihat kebutuhannya, semuanya ada. Indonesia butuh baja, apalagi kalau kita ingin menjadi negara maju. Pembangunan besar-besaran terjadi di mana-mana. Ini bukan hal yang bisa diabaikan,” ujarnya.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan bisnis, tetapi bagian dari keberpihakan terhadap kemandirian industri nasional. Dengan inovasi, kebijakan yang tepat, dan penguatan peran BUMN, industri baja Indonesia diyakini mampu bangkit dan tidak lagi bergantung pada bahan baku impor.


