Yogyakarta,REDAKSI17.COM – Bela negara saat kini tidak hanya dimaknai sebagai upaya mempertahankan kedaulatan secara fisik, tetapi juga kehadiran dan kepedulian sesama anak bangsa. Di tengah bencana yang menyelimuti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, peringatan Hari Bela Negara (HBN) ke-77 tahun ini bertransformasi menjadi panggilan kemanusiaan yang mendesak.
Pesan tersebut mengemuka dalam amanat Presiden Republik Indonesia yang dibacakan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DIY, I Gde Ngurah Sriada pada peringatan Hari Bela Negara ke-77 di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Jumat (19/12). Upacara yang digelar oleh Pemda DIY ini berlangsung khidmat dan dihadiri langsung oleh Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X.
“Saat kita memperingati Hari Bela Negara, saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tengah diuji oleh bencana alam. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk hadir dan membantu,” ujar I Gde.

I Gde mengatakan, sejarah besar Republik Indonesia tidak akan utuh tanpa peran Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Aceh sebagai wilayah yang sejak masa kerajaan telah menjadi benteng pertahanan Nusantara. Pada masa revolusi kemerdekaan, Aceh dikenal sebagai “Daerah Modal” karena dukungan rakyatnya, baik dalam bentuk logistik, dana, maupun pesawat, yang menjadi penopang penting perjuangan dan diplomasi Republik Indonesia.
Sementara itu, dari Sumatera Utara dikenang semangat juang rakyat Medan Area dan perlawanan heroik di berbagai kota yang tidak pernah padam. Wilayah ini menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap agresi Belanda sekaligus kawasan strategis yang menjaga kesinambungan pemerintahan Republik.
Sumatera Barat, khususnya Bukittinggi, lahir Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang menjadi penyelamat Republik pada masa paling kritis. “Tanpa Aceh, tanpa Sumatera Utara, dan tanpa Sumatera Barat, sejarah bela negara Indonesia tidak akan lengkap,” ujar I Gde.

I Gde menekankan, tanpa keberanian para pemimpin dan rakyat di wilayah Sumatra saat itu, wajah sejarah Indonesia mungkin akan jauh berbeda. “Mereka bukan hanya bagian dari perjalanan masa lalu, tetapi fondasi yang menegaskan bahwa persatuan adalah kekuatan terbesar bangsa ini. Ujian bencana yang mereka hadapi hari ini adalah panggilan bagi kita semua untuk hadir,” tegasnya.
Bela Negara di tahun 2025 tidak hanya bicara soal empati terhadap bencana fisik. Tema “Teguhkan Bela Negara untuk Indonesia Maju” yang diusung tahun ini juga membedah tantangan tak kasatmata yang mengepung kedaulatan bangsa.
Menurut I Gde, ancaman negara bisa datang dari rivalitas geopolitik, krisis energi, disrupsi teknologi, hingga arus informasi yang mudah dimanipulasi menjadi ancaman nyata yang dihadapi seluruh bangsa. Di tengah dinamika dunia yang penuh ketidakpastian, ancaman konvensional kini bersalin rupa dalam bentuk perang siber dan disrupsi teknologi, gerakan radikalisme serta manipulasi informasi, serta meningkatnya risiko bencana alam maupun krisis energi dan ketahanan ekonomi.

“Ancaman terhadap negara tidak lagi bersifat konvensional, melainkan berbentuk perang siber, gerakan radikalisme, hingga ancaman bencana alam yang semakin sering terjadi,” ungkap I Gde.
Ia menekankan bahwa semangat bela negara harus dimaknai sebagai kekuatan kolektif seluruh warga Indonesia. Bela negara tidak hanya menjadi tanggung jawab aparatur negara, tetapi juga menuntut peran aktif masyarakat dalam menjaga persatuan, ketahanan sosial, serta kesiapsiagaan menghadapi berbagai tantangan zaman.
“Cinta tanah air harus kita wujudkan dalam tindakan nyata. Hadir membantu sesama yang tertimpa bencana, menjaga ruang digital, dan berkontribusi dalam pembangunan sesuai peran masing-masing,” tutupnya.
Humas Pemda DIY




