Menurut Angkie, dalam setiap situasi bencana, ibu sering kali menjadi aktor pertama yang memastikan keberlangsungan hidup keluarga. “Di tengah keterbatasan dan trauma pascabencana, ibu hadir sebagai penjaga harapan, menguatkan anak-anak, mengelola kebutuhan dasar keluarga, sekaligus menjadi penggerak solidaritas di komunitas,” ujarnya.
Angkie menekankan bahwa pemulihan bencana bukan semata soal membangun kembali fisik wilayah terdampak, melainkan juga memulihkan martabat, rasa aman, dan masa depan generasi berikutnya.
Di titik inilah peran perempuan menjadi sangat krusial. Ibu tidak hanya merawat, tetapi juga mendidik, menenangkan, dan menanamkan nilai ketangguhan kepada anak-anak sejak dini.
Lebih lanjut, Angkie menyampaikan bahwa pemberdayaan perempuan dalam konteks kebencanaan harus menjadi kebijakan berkelanjutan, bukan respons sesaat.
Akses perempuan terhadap pendidikan kebencanaan, dukungan psikososial, kesehatan reproduksi, serta peluang ekonomi pascabencana perlu diperkuat agar mereka dapat kembali berkarya dan mandiri.
“Indonesia Emas 2045 hanya bisa terwujud jika kita memastikan perempuan tidak tertinggal, terutama saat mereka berada dalam situasi paling rentan. Ketika ibu bangkit, keluarga bangkit. Ketika keluarga bangkit, masyarakat pulih. Dan dari sanalah Indonesia yang tangguh dibangun,” tegas Angkie.
Partai Perindo, lanjutnya, berkomitmen untuk terus mendorong kebijakan inklusif yang menempatkan perempuan sebagai subjek utama pembangunan, termasuk dalam strategi penanggulangan dan pemulihan bencana. Dengan perempuan yang berdaya dan berkarya, Indonesia tidak hanya mampu pulih dari krisis, tetapi juga melangkah lebih kuat menuju masa depan.




