Presiden datang untuk menghadiri Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).(Biro Pers Sekretariat Presiden / Laily Rachev)
JAKARTA,REDAKSI17.COM – Pengamat hubungan internasional Teuku Rezasyah berpandangan, pidato Presiden RI Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS) berpotensi menjadi ‘Memory of the World’. Reza meyakini, pidato Prabowo juga akan dikenang seperti itu, layaknya pidato Presiden Soekarno di masa lampau.
“Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum PBB tahun 2025 ini berpotensi menjadi kenangan dunia, atau ‘Memory of the World’, sebagaimana halnya pidato Presiden Soekarno tanggal 30 September 1960 silam, yang dikenal sebagai ‘Memory of the World’,” ujar Reza kepada Kompas.com, Minggu (21/9/2025).
Ikuti Jejak Sang Ayah Reza menjelaskan, pidato Prabowo ini akan memuat filosofi, konstitusi, tradisi diplomatik, dan tantangan yang sedang dihadapi. Selain itu, kata dia, juga mengenai optimisme dengan perkembangan terkini di dunia yang menyimpan banyak harapan mulia, di tengah banyaknya krisis yang tidak terselesaikan. Presiden Prabowo Utamakan Keselamatan WNI Sembari Dorong Deeskalasi Israel-Iran.
Maka dari itu, Reza menyampaikan sejumlah saripati yang dapat Presiden Prabowo sampaikan dalam Sidang Umum PBB. Pertama, perlunya kerja sama berkelanjutan antar peradaban secara lintas generasi, terlepas dari perbedaan peradaban itu sendiri.
Sebab, dunia sedang menghadapi tantangan yang sama, seperti kesenjangan dalam pertumbuhan ekonomi, meluasnya kerusakan di muka bumi, krisis keamanan yang tidak kunjung terselesaikan, terus bertambahnya jumlah penduduk bumi tanpa mengedepankan perbaikan kualitas hidup, serta adanya potensi kepunahan umat manusia karena penggunaan nuklir secara tidak semestinya. “Kedua, PBB yang telah berusia 80 tahun ini hendaknya terus diperkuat, dengan mengambil hikmah dari kenyataan dalam hubungan antar bangsa, yang sangat berbeda dengan saat PBB itu berdiri.
Dalam hal ini, PBB diharapkan mampu dengan cepat menjawab tantangan global yang mendesak, pada tingkatan geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi,” paparnya. “Untuk itu, perlu dilakukan reformasi PBB, dengan memperkuat kedudukan Sekretaris Jenderal PBB, sehingga mampu memberdayakan Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB, tanpa perlu tersandera oleh negara besar tertentu,” sambung Reza.
Yang ketiga, masih dalam konteks reformasi PBB, Reza menyampaikan, perlu dilakukan pengubahan dalam komposisi anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB, dengan mengambil hikmah dari peran serta para anggota tidak tetap DK PBB selama ini, yang lazim dikenal sebagai Elected 10, yang bertugas masing-masing hanya 2 tahun. Menurutnya, dalam kenyataannya, idealisme 10 negara tersebut selalu kandas dalam Resolusi DK PBB, akibat Hak Veto yang digunakan secara serampangan. Dia berharap, ke depannya, DK PBB perlu diperkuat dengan penambahan 10 anggota baru. Kriterianya seperti perwakilan Peradaban Hindu dan Islam. Mengingat, China sudah mewakili peradaban Mandarin. Lalu, Rusia, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis juga memiliki peradaban Greco-Judeo-Roman.
Perwakilan selanjutnya adalah Benua Asia dan Afrika, yang merupakan bekas negara terjajah yang sekarang mulai mampu berkinerja secara modern. Kemudian, kata Reza, perwakilan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, perwakilan negara pendukung perdamaian dunia lewat misi perdamaian PBB, hingga perwakilan negara yang mampu membangun secara berkelanjutan dan menjadi penyumbang bagi pertumbuhan dan perdamaian dunia. Sementara itu, terkait absennya Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Umum PBB selama ini, Reza meyakini pasti ada penyebabnya.
“Perihal absennya Presiden Joko Widodo, saya pikir disebabkan oleh beratnya masalah di dalam negeri, sehingga menuntut keberadaan beliau untuk secara langsung mengendalikan berbagai penyelesaian atas permasalahan tersebut,” kata Reza.
“Karakter Presiden Prabowo adalah intermestik. Baginya, penyelesaian masalah di dalam negeri adalah mendesak dan harus selalu diprioritaskan. Namun, hendaknya diselesaikan berbarengan dengan penyelesaian atas masalah-masalah mendasar di luar negeri, sepanjang keduanya saling mempengaruhi, dan Indonesia mampu menanganinya sekaligus,” imbuhnya.