Oleh: Agus Taufiq (Kepala Rumah Kerja Perindo)
Jakarta,REDAKSI17.COM – Namanya Gian Cahyana, biasa dipanggil Kang Gian. Ia adalah co-founder Pala Nusantara, sebuah company yang memproduksi jam tangan dan ragam aksesoris lainnya. Apa yang unik dari produknya adalah, Kang Gian menjual jam tangan serta aksesoris berbahan dasar kayu. Ya, kayu yang jamak digunakan sebagai bahan dasar furnitur, bisa juga dipakai untuk membuat jam tangan. Terdengar sangat simpel, tapi itu semua datang dari modal kreativitas yang sangat mahal.
Satu bulan lalu, saya berkunjung ke Bandung menemui Kang Gian. Bisnis yang dibangun Kang Gian terasa personal karena ia adalah seorang seniman yang sangat peduli lingkungan. Pala Nusantara dibangun dari cerita akan kegelisahannya terhadap kayu yang terlalu sering dieksploitasi dan terkesan ‘hanya’ untuk memenuhi hajat hidup manusia.
Saya ingat betul kalimat yang dilontarkan Kang Gian kira-kira begini: kayu itu berusia ratusan tahun, dan saya harus membuat produk yang menghormati eksistensi kayu. Dari sanalah terbesit jam tangan berbahan dasar kayu. Bahkan jam tangan dan aksesoris produksi Pala Nusantara tampil sebagai salah satu souvenir utama di ajang KTT G20.
Di mana letak nilai tambah dari jam tangan karya Pala Nusantara? Bukan di bahan kayu, melainkan kreativitas sang aktor di belakangnya. Inilah yang disebut kreativitas sebagai cermin era baru ekonomi yang berbasiskan pada ‘pengetahuan’ alias knowledge-based economy. ‘Pengetahuan’ sebagai aset tidak berwujud menggerakkan perekonomian lewat inovasi, kreativitas, keterampilan manusia, bahkan kearifan lokal (local wisdom).
Dalam era digital yang dibanjiri informasi, kreativitas semakin mungkin untuk bertumbuh karena akses pengetahuan yang meluas. Pertukaran ide tanpa batasan ruang serta waktu memungkinkan insan-insan kreatif baru muncul. Oleh karenanya, digitalisasi bukan hanya memindahkan keseluruhan aktivitas ke dalam ranah daring. Lebih dari itu, digitalisasi menjadi faktor pemungkin (enabler) untuk menciptakan peluang ekonomi baru melalui kreativitas.
Berbenah dan Bersiap
Bank Dunia menyebut empat pilar utama dari ekonomi berbasis-pengetahuan: keberadaan rezim kelembagaan yang pro-inovasi; pendidikan dan keterampilan; infrastruktur digital; serta adanya sistem inovasi. Dalam konteks tata kelola negara, Bank Dunia pada dasarnya ingin menyebut bahwa negara dengan kekuatan ekonomi berbasis pengetahuan mesti mampu mengonversi kesatuan ide menjadi produk, proses, dan merek ke dalam sektor riil alih-alih hanya terus-menerus mengeruk komoditas mentah.
Syarat penting dari munculnya ekosistem inovasi adalah dukungan besar negara terhadap riset. Indonesia sendiri sebetulnya masih punya pekerjaan rumah besar soal ini. Belanja untuk riset kita masih sangat kecil, yaitu kurang dari sepersen PDB, dan jauh dibanding negara-negara inovator global lainnya. Global Innovation Index negara kita pun untuk 2025 ada di peringkat ke-55. Walaupun tidak buruk, tugas kita masih panjang untuk menuntaskan transisi perekonomian bangsa ke arah daya saing tinggi.
Kendati demikian, ekonomi kreatif seperti cerita Kang Gian, kini menjadi jantung dari ekonomi berbasis pengetahuan yang tengah diupayakan. Mari lihat potensinya: BPS melaporkan bahwa terdapat 27,4 juta orang bekerja di sektor ekraf. Artinya ada sekitar 18 persen dari total pekerja berada di sektor ekraf. Jumlah ini terhitung besar dan menjadi modal manusia penting bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan ke depannya.
Potensi lainnya yang sangat mungkin dikembangkan adalah ekonomi digital sebagai bagian tidak terpisah dari ekraf dalam ekosistem pengetahuan. Berdasarkan data APJII, penetrasi internet setidaknya pada 2024 telah mencapai 79,5% dari total penduduk atau 221 juta pengguna. Ekonomi digital kita diperkirakan mencapai Gross Merchandise Value (GMV) sekitar US$90 miliar pada 2024 dengan e-commerce sebagai lokomotif, serta investasi besar di infrastruktur awan (cloud infrastructure) serta AI mulai beroperasi di dalam negeri. Kombinasi distribusi digital (meluasnya akses internet), alat produksi berbasis AI, dan biaya transaksi yang lebih murah membuat UMKM dan kreator di daerah punya akses pasar nasional dan global yang sebelumnya mahal.
Dari sisi kinerja ekspor juga tampak terasa potensinya. Kemenparekraf melaporkan nilai ekspor ekraf semester I/2024 tembus US$12,36 miliar, didorong fesyen dan kriya. Ini menandakan produk berbasis budaya dan desain punya pasar, asal kurasi dan standar mutu konsisten. Tugas kita adalah membuat tren ini berulang dan meluas antar-daerah, bukan hanya momentum sesaat.
Menuju Lepas Landas
Mengoptimalkan ekonomi berbasis pengetahuan harus dimulai dari pelaku ekraf lokal yang tersebar di banyak daerah, yang tidak lain adalah UMKM. Oleh karenanya, perlu langkah-langkah strategis untuk segera dilakukan.
Pertama, proses digitalisasi UMKM harus berbasis hasil, bukan aktivitas. Fokusnya adalah menaikan omset, sehingga, produktivitas membaik dan akses ekspor terbuka. Itu butuh pendampingan ujung ke ujung (end-to-end) dari kualitas produk sampai layanan purna jual, memakai kanal digital yang mudah dipakai.
Kedua, di saat yang sama, pemerintah harus membangun klaster kreatif di daerah yang benar-benar terhubung ke rantai pasok industri: desain terstandar, bahan baku pasti, prototyping cepat, distribusi omnichannel. Politeknik dan SMK jadi laboratorium desain-produksi, sementara pembiayaan mengikuti arus kas pelaku agar mereka bisa naik kelas dari pemasok ke pemilik merek.
Berikutnya yang ketiga, ekspor kreatif harus didorong dengan playbook yang jelas dan berbasis data dengan kurasi produk per klaster, layanan pendamping ekspor yang mudah, promosi lintas platform global, serta target subsektor per daerah yang terukur. Fondasinya adalah modal manusia lewat percepatan vokasi di ekonomi kreatif, magang terstruktur lintas daerah, dan sertifikasi yang diakui industri, disinergikan dengan investasi AI–cloud agar talenta muda jadi produsen teknologi.
Bersama aksi-aksi kolaborarif, saya selaku Kepala Rumah Kerja Partai Perindo percaya, dengan disiplin eksekusi dari penyelenggara negara dan metrik dampak yang ketat, ekonomi kreatif akan menjadi tuas yang mengangkat ekosistem lokal, memperluas pasar, dan mendorong lompatan pertumbuhan ekonomi menuju 8% dan Indonesia Emas 2045. Semoga saja.




