JAKARTA,REDAKSI17.COM — Fenomena fatherless atau ketidakhadiran figur dan peran ayah dalam kehidupan anak, kian menjadi persoalan serius di Indonesia. Mengutip data olahan Kompas dari data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) Maret 2024, anak Indonesia yang fatherless ini setara 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Dari 15,9 juta anak fatherless, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara itu, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.
Menanggapi fenomena ini Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Keluarga (BIPEKA), Eko Yuliarti, mengatakan bahwa masyarakat harus lebih peduli dengan kehadiran ayah di keluarga.
“Ayah merupakan sosok utama dan penting dalam keluarga. Ia adalah sosok laki-laki pertama yang dikenal oleh semua anak di dunia. Bersama dengan ibu, ayah menjadi pilar berdirinya keluarga yang tangguh dan berkualitas,” tuturnya.
Lebih lanjut, perempuan yang meraih gelar doktoral di bidang ilmu keluarga ini menjelaskan adanya dua fungsi orang tua dalam keluarga yaitu fungsi instrumental yang bersifat fungsional dan rasional berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan praktis, ekonomi, dan struktural keluarga. Biasanya berhubungan dengan tugas menjaga keberlangsungan hidup keluarga secara materi dan sosial. Dan fungsi ekspresif (afektif) yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan emosional, kasih sayang, dan hubungan sosial dalam keluarga. Fungsi ini berperan dalam membangun ikatan batin, keharmonisan, dan stabilitas psikologis seluruh anggota keluarga.
“Secara natural fungsi instrumental lebih dominan dilakukan ayah dan fungsi ekspresif lebih di dominasi ibu. Dalam pelaksanaannya kedua fungsi ini tidak bisa dipisahkan. Keduanya harus dijalankan seimbang oleh ayah dan ibu,” jelasnya.
Ketidakhadiran ayah dalam keluarga bukan sekadar ketiadaan sosok laki-laki di rumah, tetapi hilangnya figur penting yang berfungsi sebagai penuntun, pelindung, dan penyeimbang dalam tumbuh kembang anak.
“Selain menjadi figur bagi anak, ayah memiliki peran unik yang berbeda dari ibu. Ia lebih banyak menanamkan rasa percaya diri, disiplin, tanggung jawab, dan kemampuan anak dalam menghadapi tantangan hidup,” tambah Eko.
Ketika ayah tidak hadir, baik secara fisik maupun emosional, anak sering kali tumbuh dengan perasaan kehilangan arah dan kekosongan emosional. Mereka cenderung mencari figur pengganti di luar keluarga, yang tidak selalu membawa pengaruh positif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak tanpa peran ayah yang aktif memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah perilaku, kesulitan mengelola emosi, rendahnya kepercayaan diri, serta kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat.
Dalam jangka panjang, ketidakhadiran ayah juga dapat menimbulkan dampak psikologis yang mendalam. Anak laki-laki berpotensi mengalami kebingungan identitas dan kesulitan memahami makna tanggung jawab sebagai laki-laki, sementara anak perempuan sering kali kehilangan rasa aman dan penghargaan diri, yang bisa memengaruhi cara mereka membangun relasi di masa depan.
Eko juga berharap pemerintah berperan lebih besar dalam menghadirkan kembali ayah di keluarga.
“Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI). Namun penajaman lingkup ayah teladan perlu diperluas mulai dari penguatan perannya sebagai pemimpin dalam keluarga. Perlu adanya program edukasi pengasuhan bagi ayah, regulasi jam kerja yang memungkinkan keterlibatan harian ayah dalam keluarga, serta kampanye untuk mengembangkan kesadaran pentingnya kehadiran ayah di keluarga,” tutupnya.