Jakarta,REDAKSI17.COM – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyebut swasembada pangan tak menjamin bisa jadi jadi mengatasi tingginya biaya pangan di area area Indonesia.
Peneliti Bidang Pertanian CIPS Azizah Fauzi menjelaskan, walau Indonesia sempat mengalami swasembada pangan pada 2019 hingga 2021 lalu, namun nilai beras domestik masih berjauhan lebih besar besar tinggi, bahkan hingga 89,74% dari tarif grosir internasional pada 2021 lalu 77% pada 2020.
“Kita sudah lihat sendiri di dalam area tahun-tahun dalam mana kita swasembada itu bukan ada menjamin biaya beras jadi tambahan terjangkau serta terjangkau juga untuk para masyarakat,” kata Azizah dalam press briefing dalam Kantor CIPS Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Daripada Indonesia berfokus untuk sanggup swasembada pangan, menurut Azizah, memverifikasi keterjangkauan pangan justru lebih tinggi tinggi efektif dalam menekan nilai tukar pangan yang mana dimaksud melonjak tinggi. Menurutnya, kebijakan perdagangan pangan pada dalam Indonesia masih restriktif. Hal hal itu dapat terlihat dari berbagai kebijakan yang dimaksud dibuat oleh pemerintah, seperti kuota impor yang mana mana diatur oleh sistem perizinan impor.
![]() Sejumlah pekerja melakukan bongkar muat beras beras impor dengan syarat Vietnam tiba pada Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (22/1/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo) |
Azizah juga menilai bahwa sistem perizinan impor di area area Indonesia masih sangat rumit, sehingga menyebabkan importir membebankan biaya-biaya yang dimaksud ke masyarakat. Akibatnya, nilai pangan di dalam dalam rakyat menjadi sangat mahal.
Lebih lanjut, Azizah menilai biaya beras pada Indonesia dapat semata turun sebesar 40,19% apabila semua hambatan non-tarif dihapus. “Ini dengan asumsi, jika impor beras tidak ada ada dibatasi,” katanya.
Menurut Azizah, jika kuota untuk impor beras juga daging dihapuskan, maka tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 2,6 poin persentase.
“Studi kami kuat, jika impor serta juga beras daging dihapuskan tingkat kemiskinan akan berkurang sebesar 2,6 poin persentase, lantaran perubahan daging lalu beras memang sangat berdampak pada kesejahteraan,” ujar Azizah.
Azizah dalam penelitiannya menilai, apabila biaya jual makanan lebih besar lanjut murah, maka dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen.
“Karena merek dapat membeli lebih banyak besar banyak makanan, baik itu dari jenis ataupun quantity-nya, lalu dapat mengonsumsinya dalam jumlah total agregat yang digunakan itu serupa lalu lebih besar banyak berhemat,” jelasnya.
“Misalnya, mungkin kita mampu beri contoh seperti daging sapi, selama ini pada tempat Indonesia daging termasuk komoditas yang digunakan dimaksud dianggap mewah. Jika biaya daging sapinya lebih besar tinggi murah, maka rakyat dapat membeli juga meningkatkan gizi mereka. Jadi tiada hanya sekali sekali melulu makan karbohidrat. Dan survei juga menyatakan bahwa jika biaya daging sapi tambahan murah, maka merekan akan justru cenderung untuk meningkatkan konsumsinya terhadap daging tersebut,” tambah Azizah.