Oleh: Handi Risza
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri
“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita. Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”. Potongan lagu “Berita Kepada Kawan” yang ditulis oleh Ebiet G. Ade, seolah-olah menjadi gambaran tentang kondisi bangsa hari ini, bencana alam, banjir besar dan tanah longsor yang terjadi di tiga Provinsi ujung barat pulau Sumatera, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Lagu tersebut memberikan pesan yang sangat mendalam bagi kita semua akan kondisi alam yang kian rusak parah.
Pemandangan tragis yang tidak biasa terlihat di sepanjang wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Sungai, danau dan pantai di ketiga wilayah tersebut dipenuhi oleh material batang pohon, potongan kayu besar, ranting, seperti sudah terpotong dengan rapi, bercampur dengan sampah plastik, serta limbah rumah tangga. Kondisi tersebut terlihat, setelah terjadinya banjir bandang besar dan tanah longsor di tiga Provinsi paling barat pulau Sumatera tersebut.
Timbul pertanyaan melihat kondisi tersebut, dari mana kayu-kayu gelondongan dalam ukuran besar dan kecil yang sudah terpotong rapi tersebut berasal…? Jika kita menganggapnya fenomena alam biasa yang terjadi secara alamiah, tentunya jumlah kayu gelondongan tersebut tidak akan datang dalam jumlah ribuan kubik yang sudah siap diolah tersebut. Tetapi jika kita melihat ini adalah perbuatan tangan-tangan jahat manusia, maka inilah praktik pembalakan liar yang dilakukan oleh para pemburu rente (rent-seeking) dengan rakus, tamak dan culas yang pernah terjadi
Pada mulanya pendekatan rent-seeking merupakan transformasi dari konsep pendapatan (income) ke konsep perburuan rente atau bunga. Ekonom klasik memandang Individu dan kelompok bisa memeroleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang legal atau sah, seperti menyewakan tanah, mesin, dll. Sehingga pendapatan yang diperoleh seseorang melalui penyewaan tersebut setara dengan pendapatan yang diperoleh individu ketika menanamkan modalnya ataupun menjual jasa dan tenaganya. Oleh sebab itu, konsep rent-seeking dalam ekonomi klasik dimaknai sebagai aktivitas ekonomi normal dan lazim dilakukan.
Transformasi terjadi ketika para ekonom modern, terutama Gordon Tullock (1967) dan Anne Krueger (1974), memperluas definisi rent-seeking tersebut. Mereka mentransformasi konsep pendapatan pasif ini menjadi konsep perilaku aktif, menjadi perburuan rente oleh para pengusaha, politisi dan aparat, sebagai pencarian keuntungan ekonomi melalui manipulasi lingkungan politik, birokrasi dan hukum, daripada melalui penciptaan nilai tambah produktif. Bahkan Gordon Tullock dalam publikasinya yang berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies, and Theft, menjelaskan bahwa pemberian hak monopoli kepada pengusaha banyak disalahgunakan oleh pejabat yang sedang berkuasa.
Praktik perburuan rente telah merusak sendi-sendi perekonomian sebuah negara menjadi perhatian para ekonom. Josept Stiglizt, ekonom peraih nobel tahun 2001, mengungkapkan dalam bukunya The Price of Inequality (2012), bahwa rent-seeking merupakan praktik di mana individu atau kelompok tertentu berupaya memperoleh pendapatan atau keuntungan ekonomi yang besar melalui pemanfaatan atau manipulasi lingkungan politik, lemahnya kebijakan dan regulasi pemerintah, tanpa menciptakan kekayaan atau nilai produktif baru bagi masyarakat secara keseluruhan.
Praktik rent-seeking di Indonesia sudah sampai pada tahapan merusak lingkungan hidup, melalui serangkaian manipulasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, lemahnya pengawasan serta perlindungan dari oknum aparat keamanan. Seperti yang lazim terjadi pada kasus pembalakan kayu ilegal, perkebunan sawit tidak berizin serta pertambangan liar. Pelaku rent-seeking dapat berupa individu, korporasi, pejabat pemerintah, atau pihak lain yang mengabaikan dampak negatif terhadap lingkungan dan menimbulkan kerusakan ekologis. Kerusakan tersebut baru terasa ketika terjadi bencana yang menimbulkan banjir besar, tanah longsor dan korban jiwa.
Jejak para Pemburu Rente dan Pembalakan Liar
Kementerian Kehutanan merilis hasil pemantauan tahunan mengenai kondisi hutan dan angka deforestasi di Indonesia. Angka deforestasi netto tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektare. Angka ini didapat dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare dikurangi hasil reforestasi seluas 40,8 ribu hektare. Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare atau 92,8 persen. Sebanyak 69,3 persen dari luasan deforestasi itu terjadi di dalam hutan dan sisanya di luar.
Pulau Sumatera menjadi salah satu wilayah dengan kehilangan hutan terbesar di Indonesia pada tahun 2024. Berdasarkan laporan Kementerian Kehutanan, luas deforestasi Sumatera 2024 mencapai 78.03 ribu hektare. Angka itu 44,48 persen dari total deforestasi netto nasional yang sebesar 175,4 ribu hektare. Angka ini juga menunjukkan tekanan terhadap kawasan hutan Sumatra masih cukup tinggi. Aceh memiliki deforestasi mencapai 11,21 ribu hektare, Sumatra Utara mencapai 7,03 ribu hektare, dan Sumatra Barat sebesar 6,63 ribu hektare. Tiga provinsi dengan kehilangan hutan terbesar tercatat sebagai wilayah yang mengalami banjir bandang besar dan longsor akhir november lalu.
Masifnya deforestasi atau hilangnya tutupan hutang secara permanen tidak bisa dilepaskan dari aktivitas penebangan pohon secara ilegal (illegal logging), pengangkutan, dan penjualan kayu yang dilakukan secara terorganisir oleh perusahaan yang bergerak dalam industri kehutanan atau sektor lainnya, seperti perkebunan dan pertambangan. Praktik pemburu rente ini ditenggarai sudah dilakukan bertahun-tahun sehingga menyebabkan kerusakan hutan dalam skala besar, hilangnya fungsi ekologis hutan secara menyeluruh, sehingga lahan tersebut tidak lagi dapat disebut sebagai hutan secara biologis maupun fungsional.
Hutan lebat Sumatera yang mulai botak menjadi saksi bisu bagaimana para pemburu rente ini bekerja dengan rakus, tamak dan culas. Memperoleh keuntungan finansial besar dengan mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memberikan kontribusi produktif bagi masyarakat sekitarnya. Mereka sering kali beroperasi melalui jaringan kompleks yang melibatkan oknum aparat. Pemburu rente memengaruhi pejabat atau institusi pemerintah melalui lobi, suap, atau cara tidak etis lainnya untuk mendapatkan izin penebangan, konversi lahan hutan, atau konsesi pertambangan dengan biaya rendah.
Aksi para pemburu rente ini, tidak hanya menimbulkan kerusakan hutan yang masif, tetapi juga kerugian negara yang besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, negara mengalami kerugian Rp 35 triliun per tahun akibat pembalakan liar. Analisis KPK juga menemukan ada kelemahan pengawasan dalam izin pinjam di mana terdapat 1.052 usaha pertambangan di kawasan hutan di wilayah Kalimantan, Sumatera, dan Papua yang tak melalui prosedur pinjam pakai. Hal tersebut menciptakan potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 15,9 triliun per tahun.
Morotarium Penebangan Hutan dan Konversi Lahan
Sudah saatnya Pemerintah bertindak tegas untuk menghentikan siklus kerusakan dan bencana yang terjadi di tiga provinsi tersebut. Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah segera adalah penghentian sementara atau penundaan (morotorium) pemberian izin baru untuk konversi hutan. Lakukan audit menyeluruh seluruh izin (HGU, IUPHHK, IUP, PHAT, PPKH) di provinsi terdampak dan cabut izin yang melanggar atau berada di kawasan hulu rawan bencana. Serta tindak tegas perusahaan dan individu yang terlibat dalam pembalakan ilegal atau penyalahgunaan izin.
Berkaca pada syair lagu Ebiet G. Ade diatas, kita selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, sehingga praktik para pemburu rente yang rakus, tamak dan culas terus berlanjut. Kelengahan kita selama ini harus diingatkan dengan cara yang sangat memilukan, banjir besar, tanah longsor dan korban jiwa.


