Jakarta,REDAKSI17.COM – Iran menjadi salah satu negara yang tersebut paling ditakuti Israel, lantaran kepemilikan senjata nuklirnya, lalu mempunyai kedekatan dengan Hamas maupun Hizbullah, milisi penyerang utama Israel. Ini sebagaimana disampaikan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.
Serangan bersenjata Israel ke Jalur Gaza serta Tepi Barat pun sudah pernah memicu Iran untuk bereaksi keras kemudian memungkinkan adanya “tindakan pencegahan” dalam waktu dekat. Presiden Iran Ebrahim Raisi menyebut Israel telah dilakukan diimplementasikan “melampaui garis merah” di tempat dalam Gaza.
Menurutnya situasi yang digunakan hal tersebut ditimbulkan Israel kemungkinan memaksa semua orang untuk mengambil tindakan.
“Kejahatan rezim Zionis sudah melewati garis merah, yang digunakan mana mungkin memaksa semua orang untuk mengambil tindakan. Washington mengajukan permohonan kami untuk tiada melakukan apapun, namun merekan tetap memberikan dukungan luas kepada Israel,” kata Raisi.
“AS mengirimkan pesan ke Poros Perlawanan namun menerima respons yang dimaksud mana jelas pada medan perang,” ucapnya, seperti dikutip CNN International pada Minggu (11/2/2024).
Kampanye militer Israel yang mana gencar di tempat tempat Gaza selama lima bulan ini telah lama lama menimbulkan kecemasan bahwa akan ada tambahan banyak front yang dimaksud dimaksud terbuka. Iran bersekutu dengan Hamas kemudian juga Hizbullah dari Lebanon, yang digunakan terlibat dalam baku tembak dengan Israel dalam beberapa waktu terakhir.
Israel bahkan dilaporkan berada pada ambang perang besar dengan Hizbullah seiring dengan memanasnya perang melawan Hamas yang digunakan sudah menghancurkan sebagian wilayah Gaza.
Dilansir The Guardian, beberapa front di tempat tempat Israel pada masa pada masa kini makin kosong, setelah berulang kali terjadi serangan roket juga rudal serta bentrokan perbatasan dalam beberapa hari terakhir dengan faksi Hizbullah juga Palestina yang digunakan mana berpartisipasi pada Lebanon. Suasana di tempat area seluruh Israel sedang kacau, kepercayaan terhadap tentara kemudian negara memudar.
Hubungan Kian Memburuk
Sejak didirikan pada tahun 1979, Republik Islam Iran sudah lama menggalang kelompok Palestina dalam perjuangan merekan itu melawan pasukan Israel. Pengaruh Teheran dalam konflik Palestina-Israel semakin meningkat secara signifikan, terutama dengan munculnya Hizbullah pada Lebanon lalu Jihad Islam Palestina (PIJ) dalam dalam Jalur Gaza.
Revolusi tahun 1979 juga menandai berakhirnya hubungan dekat Iran serta Israel, mengubah merek menjadi musuh bebuyutan, dengan ancaman perang habis-habisan. Tak heran selama 75 tahun terakhir, hubungan antara Iran, Israel, kemudian Palestina mengalami fluktuasi yang digunakan mana dramatis, sebagaimana dilaporkan The New Arab.
Sebelum revolusi tahun 1979, ketika sebagian besar negara Arab dalam Timur Tengah berselisih dengan Israel juga juga menolak mengakui kedaulatannya, rezim diktator Shah mengupayakan pemukim di tempat dalam wilayah pendudukan Palestina.
Di bawah kepemimpinan Shah, Iran mengakui Israel sebagai negara berdaulat pada tahun 1950. Namun, hubungan bilateral kedua negara melambat pada awal tahun 1950-an. Setelah kudeta tahun 1953 yang dimaksud diatur oleh CIA lalu MI6, Shah mendapatkan kembali kekuasaan serta menjadi sekutu terdekat Amerika Serikat, serta teman utama Israel pada wilayah tersebut.
Kerja mirip ekonomi, politik, lalu militer antara kedua negara berkembang seiring meningkatnya ketegangan antara Israel juga juga negara-negara Arab pada tahun 1960-an juga 1970-an.
Pada tahun 1957, Shah, yang digunakan mana prihatin dengan pembangkang nasionalis lalu sayap kiri, mendirikan salah satu badan intelijen paling terkenal lalu brutal di tempat area Timur Tengah, SAVAK, dengan bantuan dari dinas intelijen Israel Mossad.
Meskipun tingkat kolaborasi militer antara kedua negara sebelum revolusi tahun 1979 dirahasiakan, dokumen yang dimaksud mana bocor mengungkapkan bahwa dia itu setuju untuk mengembangkan sistem rudal canggih dalam bawah kode Project Flower.
Kolaborasi perekonomian juga energi antara Teheran kemudian juga Tel Aviv sangat penting dalam menggalang Israel selama konflik dengan negara-negara Arab pada tahun 1967 serta 1973. Hal ini dicapai melalui sebuah perusahaan internasional yang mana digunakan didirikan bersama oleh kedua negara di area dalam Panama lalu Swiss, yang dimaksud hal itu dikenal sebagai Trans-Asiatic Oil, serta melalui proyek-proyek rahasia seperti Pipa Minyak Eilat-Ashkelon pada saat produsen minyak Arab memberlakukan embargo terhadap Israel.
Sementara Iran lalu Israel secara signifikan memperkuat hubungan mereka, gerilyawan kiri Iran, yang digunakan dimaksud menentang Shah, bergabung dengan kamp gerakan Fatah di tempat tempat Yordania kemudian Lebanon, pada mana merekan berperang melawan tentara Israel kemudian memperoleh pengalaman dalam perang gerilya untuk akhirnya kembali ke Iran.
Ayatollah Rouhollah Khomeini, tokoh urusan urusan politik Iran lainnya, juga mengkritisi Israel. Setelah Perang Enam Hari, ayatollah garis keras Iran mengeluarkan Fatwa yang dimaksud digunakan menyatakan kepada para pengikutnya bahwa menjalin hubungan urusan kebijakan pemerintah lalu perekonomian dengan Israel serta mengonsumsi produk-produk Israel dianggap “haram”.