Home / Opini / Dibalik Gendhing Raja Manggala: Antara Sejarah, Rakyat, dan Kepemimpinan

Dibalik Gendhing Raja Manggala: Antara Sejarah, Rakyat, dan Kepemimpinan

Foto: Ilustrasi 

Yogyakarta,REDAKSI17.COM– Minggu (31/08/2025), Suasana di Mapolda DIY mendadak menjadi simbolik ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X menemui para demonstran dengan iringan gendhing Raja Manggala. Bagi sebagian orang, musik gamelan itu mungkin hanya terdengar sebagai bagian dari tata cara keraton. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, gendhing ini menyimpan makna sejarah dan legitimasi kepemimpinan Jawa yang sarat pesan moral.

Gendhing Raja Manggala bukan sekadar komposisi nada. Kata “manggala” sendiri berarti pemimpin, panglima, atau sosok yang berada di garis depan. Dalam tradisi Jawa, gendhing ini kerap digunakan untuk menyambut kedatangan seorang raja, pemimpin, atau tokoh besar. Irama gamelan yang teratur, agung, dan penuh wibawa mencerminkan harapan akan hadirnya pemimpin yang adil, bijak, dan melindungi rakyatnya.

Sejarawan budaya Jawa kerap mengingatkan bahwa musik gamelan tidak pernah hadir tanpa makna. Ki Hadjar Dewantara, misalnya, pernah berujar:

“Kesenian Jawa, termasuk gamelan, adalah bahasa simbolik yang mempersatukan rasa antara pemimpin dan kawula.”

Maka, ketika Raja Manggala dimainkan di Mapolda DIY, ia bukan hanya menandai kehadiran Sri Sultan, tetapi juga menjadi simbol bahwa pemimpin hadir di tengah rakyatnya yang sedang resah.

Namun di balik nuansa agung itu, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Demonstrasi yang terjadi, suara rakyat yang menggema, muncul justru karena adanya jarak antara idealisme kepemimpinan dan kenyataan politik yang mereka rasakan. Gendhing yang seharusnya menjadi pengikat harmoni kadang berhadapan dengan realitas sosial penuh ketegangan.

Di sinilah relevansi Raja Manggala diuji. Apakah pemimpin benar-benar tampil sebagai “panglima rakyat” yang mengayomi, ataukah sekadar simbol tradisi yang berhenti di ranah seremonial? Rakyat tentu berharap yang pertama.

Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan:

“Wong agung iku dudu sing duwé drajat, nanging sing bisa ngreksa lan ngayomi.”

(Seorang agung bukanlah mereka yang sekadar memiliki derajat, melainkan yang mampu menjaga dan melindungi.

Opini ini menegaskan bahwa kehadiran Sultan HB X di tengah demonstrasi bukan hanya peristiwa politik, tetapi juga peristiwa kultural yang sarat makna. Iringan Raja Manggala mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati adalah yang berdiri di depan rakyat, bukan di atas rakyat.

Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat: bukan seberapa megah musik yang mengiringi, melainkan seberapa nyata tindakan pemimpin menjawab jeritan rakyatnya. (AR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *