Jakarta, REDAKSI17.COM – Kondisi perekonomian kelas menengah dalam tempat Indonesia mulai tertekan. Hal ini tercermin dari transaksi jual beli barang-barang bertahan lama atau durable goods yang mana yang disebut anjlok drastis. Kondisi ini menimbulkan ancaman penting di tempat dalam balik melemahnya daya beli penduduk kelas menengah.
Demikian disampaikan Ekonom Senior yang dimaksud juga mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri. Pernyataan ini, dia sampaikan mengomentari sorotan khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani terhadap pelanggan motor lalu mobil sebagai durable goods yang digunakan turun tajam pada awal-awal tahun ini.
“Saya sudah sampaikan concern saya mengenai tekanan terhadap daya beli kelas menengah. Tampaknya concern saya mulai terlihat,” ujar Chatib Basri dikutip dari akun X @ChatibBasri, Selasa (26/3/2024).
Chatib memang kerap kali juga telah terjadi lama lama menyoroti secara khusus kondisi kelas menengah. Ia berbicara mulai dari kemungkinan risiko tekanan kelas menengah terhadap stabilitas kebijakan pemerintah hingga sosial, maupun sarannya terhadap pemerintah untuk segera mengurus dunia usaha kelas menengah, dengan cara pemberian perlindungan sosial untuk kalangan itu, tak semata-mata bagi kelas menengah ke bawah ataupun miskin.
Misalnya, dia mengeksplorasi topik terkait permasalahan kelas menengah yang mana harus diurus itu saat menjadi pembicara dalam acada Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia yang dimaksud digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada awal tahun ini.
Saat itu, Chatib Basri mengatakan pemerintah perlu mulai turut fokus memperhatikan kondisi sektor dunia usaha juga kepentingan kelas menengah Indonesia. Chatib menyinggung fenomena Chilean Paradox ketika kepentingan kelas menengah terabaikan oleh pemerintah yang mana digunakan terlalu fokus pada kelompok miskin atau kelas menengah ke bawah saja.
Chatib mulanya menceritakan kondisi sebagian rakyat Indonesia yang mana mulai menggunakan tabungannya untuk konsumsi. Dia mengatakan kondisi ini dialami oleh rakyat kelas menengah ke bawah Indonesia.
Namun, pemerintah saat ini baru mengurus golongan miskin melalui pemberian bantuan sosial. Sementara, kelas menengah yang digunakan digunakan daya belinya juga turun tak mendapatkan perhatian serius.
Komisaris Utama Bank Mandiri itu menceritakan pada September lalu sempat satu forum dengan mantan Presiden Chile Michelle Bachelet di dalam dalam Harvard Ministerial Forum pada area Harvard University. Michelle saat itu bercerita tentang kemampuan negaranya mampu mereformasi perekonomian secara gemilang dengan mengurus kalangan penduduk miskin, namun krisis sosial tetap terjadi yang digunakan mana nyaris menyebabkan revolusi dalam dalam negara itu.
Chatib bilang krisis di tempat area Chile yang mana dimaksud dijuluki The Chilean Paradox oleh Ekonom jika Amerika Serikat Sebastian Edwards terjadi ketika kondisi ekobomi negara itu sedang bagus-bagusnya. Chile merupakan negara dengan pertumbuhan sektor ekonomi tertinggi di dalam dalam Amerika Latin. Negara kaya minyak itu juga berhasil menurunkan kemiskinan dari 53% menjadi 6%. “Lebih baik dari Indonesia,” ujar dia.
Meski dengan semua pencapaian itu, pada Oktober 2019 meletus kerusuhan sosial yang digunakan hampir berujung pada revolusi. Kerusuhan itu dimotori oleh kelas menengah Chile yang tersebut yang disebut merasa tiada puas dengan pemerintahan. Chatib mengatakan kebijakan-kebijakan pemerintah Chile saat itu memang terlalu fokus kepada 10% umum terbawah. Sementara, kebutuhan kelas menengah terhadap lembaga institusi belajar yang digunakan bagus lalu prasarana umum yang dimaksud hal tersebut layak kurang mendapatkan perhatian.
“Sebagian policy-nya itu fokus pada satu puluh persen ke bawah,” kata dia.
Chatib mengatakan pemerintah Indonesia harus belajar dari peristiwa ini. Dia bilang dalam beberapa tahun ke depan kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia lalu bahkan mampu mempengaruhi lingkungan urusan kebijakan pemerintah hingga sosial. Ia menyebut kelas menengah ini akan menjadi pengeluh profesional atau professiobal complainer yang mana semakin berpengaruh, seperti dalam area media sosial saat ini.
“Mereka akan butuh lebih banyak lanjut pada kualitas institusi belajar yang tersebut baik, sarana transportasi yang digunakan dimaksud lebih banyak besar baik. Ini yang mana mana akan menjadi isu political economy ke depan,” kata dia.
“Saya ga akan terkejut kalau 10 tahun lagi orang bisa saja jadi terpilih jadi presiden kalau dia mampu sekadar menyelesaikan permasalahan sampah, parkir serta infrastruktur umum dikarenakan urbanisasi yang mana hal tersebut terjadi,” lanjut dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti secara khusus tren transaksi jual beli mobil serta motor yang digunakan mana anjlok besar pada akhir Februari 2024. Meskipun ia meyakini tingkat konsumsi masyarakat masih sangat baik.
Ia mengatakan, pelanggan mobil telah dilakukan dijalankan terkontraksi delapan bulan berturut-turut hingga akhir Februari penjualannya minus 18,8% secara tahunan atau year on year. Sementara itu, penjalan sepeda motor sudah pernah terkontraksi selama enam bulan berturut-turut hingga ke level minus 2,9%.
“Ini berarti untuk pembelian barang durable goods seperti mobil serta motor mengalami tekanan. Meski, consumer index kuat. Ini yang mana mana perlu kita jaga” kata Sri Mulyani saat konferensi pers APBN, Senin (25/3/2024)
Di tengah lesunya pembelian barang-barang bertahan lama itu, Sri Mulyani menjamin indeks keyakinan konsumen (IKK) masih pada level optimistis pada level 123,1 per Februari. Sementara itu Mandiri Spending Index menurutnya masih dalam level yang digunakan menunjukkan konsumsi terjaga tinggi pada level 43.
Adapun indeks transaksi jual beli riil juga masih tumbuh menguat, dikarenakan menurutnya terjaga pada kisaran 3,6, Purchasing Manager’s Index atau PMI Manufaktur juga masih pada level ekspansif dalam level 52,7. Konsumsi listrik ia akui melemah untuk kalangan industri yang mana dimaksud terkontraksi 0,8%, sedangkan dalam area sisi bidang usaha masih tumbuh 10,5%.
“Jadi dari sisi agregat demand prospek pertumbuhan sektor ekonomi kita dari jangka pendek masih kuat lalu cukup resilient,” papar Sri Mulyani.