Jakarta,REDAKSI17.COM – Perseteruan dua stakeholder terbesar minyak mentah dalam area dunia yakni OPEC dan Badan Energi Internasional (IEA) masih berlanjut. Perseteruan ada pada perbedaan kapan puncak permintaan lalu dampaknya ke penyetoran modal di tempat area sektor perminyakan serta tarif minyak ke depan.
Puncak permintaan minyak mentah mengacu pada titik ketika permintaan global mencapai level tertinggi sebelum diikuti dengan penurunan secara permanen. Penurunan ini secara teoritis akan mengurangi kebutuhan penyertaan modal pada proyek minyak mentah serta menjadikan minyak menjadi kurang ekonomis seiring dengan munculnya sumber energi lain, terutama dari Energi Baru juga juga Terbarukan (EBT).
OPEC+ mewakili negara lalu perusahaan penghasil minyak terbesar dalam dunia sementara EIA berkedudukan sebagai lenbaga think tank.
Merujuk pada Kementerian ESDM, IEA merupakan sebuah badan yang tersebut berdiri dalam kerangkaOrganisation for Economic Co-operation and Development(OECD), yang tersebut didirikan pada November 1974 untuk melaksanakan program energi internasional.
IEA melakukan kerja mirip energi secara menyeluruh antara 28 negara dari 30 negara anggota OECD. Tujuan dasar pendirian IEA diantaranya untuk mengelola serta memperbaiki sistem penanggulangan terjadinya gangguan pasokan minyak juga memperkenalkan kebijakan-kebijakan energi yang digunakan itu rasional.
EIA juga bertanggung jawab terhadap perbaikan struktur pasokan serta pemakaian energi dunia dengan mengembangkan sumber-sumber energi alternatif lalu juga meningkatkan penghematan energi.
Proyeksi periode puncak juga juga kapan permintaan akan menurunkan sangat penting bagi negara-negara lalu perusahaan-perusahaan penghasil minyak, seperti OPEC +.
EIA yang digunakan dimaksud mewakili pemangku kepentingan dan mengadvokasi negara-negara konsumen minyak, memperkirakan permintaan minyak akan mencapai puncaknya pada 2030 lalu menyebut penurunan tarif minyak mentah sebagai “hal yang tersebut dimaksud menyenangkan”. Gagasan ini tentu cuma menciptakan OPEC berang.
“Narasi seperti itu cuma akan menyebabkan sistem energi global mengalami kegagalan yang mana digunakan spektakuler,” ucap Sekretaris Jenderal OPEC Haitham al-Ghais dalam pernyataannya pada 14 September.
“Hal ini akan menyebabkan kekacauan energi dalam skala yang digunakan mana belum pernah terjadi sebelumnya, dengan konsekuensi yang dimaksud dimaksud mengerikan bagi perekonomian kemudian miliaran orang di dalam tempat seluruh dunia.” tambah Haitham.
Dia menuduh lembaga itu menyebarkan rasa takut lalu mempertaruhkan destabilisasi dunia bidang usaha global.
Secara lebih besar tinggi luas, perselisihan EIA dan OPEC juga mencerminkan pertikaian yang mana mana sedang berlangsung antara permasalahan perubahan iklim lalu kebutuhan akan keamanan energi.
Sebagai gambaran yang mana dimaksud setara, perselisihan keduanya terlihat jelas pada area ADIPEC, pertemuan tahunan yang dimaksud dimaksud hingga tahun ini bernama Abu Dhabi International Petroleum Exhibition Conference, kemudian diam-diam diubah menjadi Konferensi Energi Progresif Internasional Abu Dhabi.
Uni Emirat Arab akan menjadi tuan rumah KTT iklim COP28 pada bulan November dan juga juga telah dilakukan dikerjakan memasarkan kampanye keberlanjutannya, sambil meningkatkan kapasitas produksi minyak mentahnya sebagai persiapan menghadapi pertumbuhan permintaan di dalam area masa depan. UEA adalah produsen minyak terbesar ketiga OPEC.
CEO perusahaan-perusahaan minyak serta produsen minyak negara menekankan perlunya pendekatan ganda, menegaskan bahwa perusahaan dia adalah bagian dari solusi, bukan masalah, serta juga bahwa transisi energi bukan ada mungkin terjadi tanpa dukungan keamanan serta juga perekonomian dari sektor hidrokarbon.
“Saya bukan ada tahu apakah kita akan mencapai puncak produksi minyak pada tahun 2030. Namun sangat berbahaya untuk mengatakan bahwa kita harus mengurangi perkembangan sektor ekonomi sebab hal yang digunakan bertentangan dengan transisi,” ucap Claudio Descalzi, CEO perusahaan energi multinasional Italia, Eni kepada CNBC Internasional.
Ia memperingatkan bahwa jika investasi modal minyak serta juga pasokannya turun serta gagal memenuhi kebutuhan, nilai tukar minyak akan melonjak kemudian melumpuhkan perekonomian.
Descalzi mengakui bahwa pembakaran komponen bakar fosil menghasilkan banyak CO2, namun menambahkan “kita tak sanggup semata menghentikan semuanya lalu belaka mengandalkan energi terbarukan lalu itulah masa depan, tidak. Tidak seperti itu. Kita punya infrastruktur, kita punya penyertaan modal yang digunakan harus kita pulihkan, lalu kita punya permintaan yang hal itu masih ada.”
IEA menulis dalam laporannya pada Agustus 2023 bahwa “permintaan minyak dunia mencapai rekor tertinggi” juga diperkirakan akan meningkat pada tahun ini.
Namun IEA menambahkan bahwa adopsi kendaraan listrik serta juga energi terbarukan yang dimaksud dimaksud tambahan cepat, serta pemisahan negara-negara Barat dari gas Rusia, akan mempercepat permintaan puncak sebelum tahun 2030.
“Berdasarkan kebijakan pemerintah saat ini serta juga tren pasar, permintaan minyak global akan meningkat sebesar 6% antara tahun 2022 lalu 2028 hingga mencapai 105,7 jt barel per hari (mb/d), meskipun terjadi peningkatan kumulatif ini, pertumbuhan permintaan tahunan diperkirakan akan menyusut dari 2,4 jt barel per hari (mb/d) tahun ini menjadi hanya sekali sekali 0,4 mb/d pada tahun 2028, sehingga mencapai puncak permintaan,” tulis IEA dalam laporan bulan Juni 2023.
IEA juga menguraikan peta jalannya menuju net zero pada tahun 2050, dengan menghitung bahwa permintaan minyak dunia harus turun menjadi 77 jt barel per hari pada tahun 2030 kemudian 24 jt barel per hari pada tahun 2050.
Namun angka-angka hal itu sangat mengejutkan ketika dihadapkan pada kenyataan. Selama periode lockdown global yang digunakan hal tersebut paling intens akibat pandemi Covid-19, pada bulan Maret dan juga juga April 2020, permintaan minyak harian pada tempat seluruh dunia berkurang sebesar 20%, sesuatu yang tersebut dimaksud cuma mungkin terjadi akibat perekonomian terhentikan total. Peta jalan IEA menyerukan penurunan permintaan minyak harian sebesar 25% dalam waktu tujuh tahun.
Dampak Kenaikan Harga Minyak Bumi Terhadap Indonesia
Indonesia merupakan negara net importir minyak. Perbedaan pandangan antara OPEC dan EIA sama-sama harus disikapi dengan kewaspadaan. Pasalnya, kenaikan nilai minyak dalam skala terbatas pun akan sangat berdampak ke Indonesia.
Produksi minyak bumi Indonesia yang dimaksud dimaksud terus mengalami penurunan setiap tahunnya menggerakkan Indonesia untuk melakukan impor minyak bumi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal yang digunakan diperparah oleh ketidakseimbangan antara permintaan minyak dengan pasokan produksi minyak dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor migas RI pada Juni 2023 tercatat mencapai US$ 2,22 miliar.
Bagi negara importir minyak bumi, nilai tukar minyak yang digunakan digunakan tinggi dapat menyebabkan tingginya biaya impor yang mana mana berdampak buruk terhadap PDB, nilai tukar, inflasi lalu neraca pembayaran.
Selain itu, volatilitas nilai minyak yang mana digunakan tinggi meningkatkan ketidakpastian mengenai arus kas yang mana digunakan dapat menjadi tantangan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan.
Harga minyak yang mana lebih tinggi lanjut tinggi mempengaruhi perekonomian melalui berbagai cara, yakni:
1. Membengkaknya impor
Kenaikan tarif minyak akan membebani impor sehingga bisa jadi cuma menekan neraca perdagangan. Bila impor terus membengkak maka transaksi berjalan lalu Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mampu jadi berada dalam zona negatif atau defisit.
2. Akan ada kenaikan biaya produksi barang lalu jasa dalam perekonomian, mengingat kenaikan nilai relatif input energi, sehingga memberikan tekanan pada margin keuntungan.
3. Kenaikan inflasi
4. Akan ada dampak langsung lalu bukan langsung terhadap pasar keuangan. Perubahan aktual kemudian antisipasi dalam aktivitas ekonomi, pendapatan perusahaan, inflasi, lalu kebijakan moneter setelah kenaikan nilai jual minyak akan mempengaruhi penilaian ekuitas serta obligasi, serta nilai tukar mata uang.
5. Insentif ke produsen
Kondisi itu tergantung pada durasi kenaikan nilai tukar yang mana diharapkan, perubahan nilai relatif menciptakan insentif bagi pemasok energi untuk meningkatkan produksi (sejauh masih ada ruang untuk melakukan hal tersebut) serta investasi, serta bagi konsumen minyak untuk melakukan penghematan.
CNBC INDONESIA RESEARCH