Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Festival Jeron Beteng kembali hadir untuk ketiga kalinya dan akan digelar pada Sabtu, 12 April 2025. Acara yang dipusatkan di kawasan Alun-Alun Selatan ini diharapkan mampu menarik dua hingga tiga ribu pengunjung, menyusul antusiasme tinggi yang tercatat pada pelaksanaan sebelumnya.

Kepala Bidang Daya Tarik Pariwisata Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Yurnelis Piliang, menyampaikan bahwa festival tahun ini mengusung tema “Masangin Menari Bersama di Kawasan Destinasi Wisata Kota Jogja.” Sejumlah inovasi dan kolaborasi baru siap memeriahkan rangkaian acara.

“Kami menggandeng teman-teman dari PHDI, Kormi, serta kampung wisata atau pokdarwis di sekitar kawasan benteng, seperti Kampung Wisata Kadipaten, Panembahan, dan Prawirodirjan untuk menyemarakkan festival. Ada flashmob menari topeng dengan 400 topeng yang kami siapkan, dan pengunjung juga dipersilakan ikut menari secara bebas,” ujar Yurnelis dalam acara jumpa pers di Kantor Kominfo Kota Yogya, Jumat (11/4).

Festival akan dimulai pukul 14.00 WIB dengan Festival Layang-Layang, menghadirkan delapan hingga sepuluh layang-layang raksasa dari komunitas KORM. Tak hanya itu, pengunjung juga dapat mengikuti workshop pembuatan layang-layang sejumlah 100 buah sebagai bentuk pelestarian permainan tradisional Indonesia.

Pukul 15.00 WIB, festival akan dibuka secara resmi, diisi pertunjukan musik, kemudian sebagai Puncak kegiatan ini akan dilaksanakan Masangin “Menari Bersama-sama di Destinasi Ngangenin dengan topeng yang menjadi ciri khas sejak edisi perdana Festival Jeron Beteng.

Salah satu daya tarik utama lainnya adalah pawai ogoh-ogoh yang dimulai pukul 18.30 WIB dari depan pintu barat Kepatihan hingga menuju kawasan Taman Pintar. Sebelum pawai dimulai, akan digelar seremoni penyematan selempang untuk 30 finalis Dimas Diajeng Kota Yogyakarta 2025 sebagai bagian dari penyambutan pawai ogoh-ogoh.

Lebih lanjut, Yurnelis juga menyampaikan informasi penting terkait rekayasa lalu lintas selama acara berlangsung.

“Kami ingin menginformasikan kepada masyarakat bahwa akan ada kirab ogoh-ogoh, Jalan Malioboro akan ditutup sementara. Oleh karena itu, beberapa rute Trans Jogja akan dialihkan,” tegasnya.

Trayek yang terdampak meliputi rute 1A, 2A, 3A, 6, 8, 13, dan 15. Seluruh armada akan dialihkan melalui Jalan Pasar Kembang. Penumpang yang hendak menuju atau dari Malioboro dapat menggunakan halte sementara yang telah disiapkan di jalur tersebut.

“Kami tetap mengantisipasi kemungkinan hujan karena saat ini masih musim hujan. Namun, selama hanya hujan ringan, kegiatan akan tetap berjalan dengan penyesuaian teknis di lapangan,” tambah Yurnelis.

Lebih dari sekadar ajang seni dan budaya, Festival Jeron Beteng juga menjadi bagian dari strategi penguatan daya tarik wisata di pusat Kota Yogyakarta, khususnya kawasan Malioboro, Alun-Alun Selatan, dan sekitarnya. Saat ini terdapat 58 destinasi wisata di Kota Yogyakarta, termasuk destinasi unggulan seperti Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Museum Sonobudoyo, dan Kampung Wisata Patehan serta Taman Sari.

“Festival ini diharapkan dapat menjadi agenda tahunan dan memberikan dampak positif bagi sektor UMKM serta ekonomi lokal. Kami optimis dengan semangat kolaborasi dan kreativitas, pariwisata Kota Yogyakarta akan terus tumbuh dan dikenal lebih luas, baik nasional maupun internasional,” tutup Yurnelis.

Ketua Komite Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (KORMI) Kota Yogyakarta, Septi Sri Rejeki mengatakan ragam layang-layang yang akan diterbangkan mengusung bentuk-bentuk simbolis seperti gunungan, tokoh Semar, dan filosofi Pandawa Lima. Beberapa diantaranya juga terinspirasi dari nilai-nilai budaya Keraton Ngayogyakarta

“Kami menyesuaikan ukuran layang-layang dengan kondisi lokasi. Di Alun-Alun Selatan, maksimal berat layangan adalah 2 kilogram. Ini berbeda dengan festival di kawasan pantai seperti Parangtritis, yang bisa menampung layangan berukuran lebih besar,” jelas Septi.

Menariknya, ia mengungkapkan bahwa para peserta akan mengenakan atribut budaya seperti blangkon dan busana adat, meski tetap mengenakan kaos resmi KORMI. “Ini merupakan bentuk pelestarian tradisi melalui olahraga. Kita ingin menunjukkan bahwa olahraga tradisional bisa dikemas secara menarik dan tetap menjunjung nilai-nilai budaya,” imbuhnya.

Koordinator Pawai Ogoh-Ogoh dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Yogyakarta, I Dewa Gede Gilang Pratiwimba, ,menegaskan bahwa Pawai Ogoh-Ogoh lebih dari sekadar arak-arakan, kehadiran ogoh-ogoh di Malioboro juga membawa pesan penting tentang keberagaman dan toleransi. “Yogyakarta sebagai City of Tolerance sangat tepat menjadi panggung besar untuk memperkenalkan ragam budaya, termasuk ogoh-ogoh, yang kini dikemas secara lebih ramah dan menarik,” jelas Gilang.

Ia menambahkan bahwa ogoh-ogoh tidak selalu harus berbentuk raksasa yang menyeramkan. “Kini bentuknya bisa lebih bersahabat—nenek-nenek, tokoh lucu, atau karakter unik lainnya. Tujuannya agar lebih inklusif dan bisa dinikmati oleh siapa saja, termasuk wisatawan dan masyarakat umum,” tambahnya.

Ogoh-ogoh akan mulai ditampilkan di sepanjang Jalan Malioboro di ruas sebelum perempatan Kepatihan. Seluruh kendaraan akan dilarang melintas, sehingga masyarakat bisa dengan leluasa menyaksikan dan berswafoto dengan ogoh-ogoh yang telah disiapkan.

“Ogoh-ogoh akan kami tempatkan lebih dulu di tepi jalan agar pengunjung bisa menikmatinya sebelum kirab dimulai. Ini sekaligus bentuk apresiasi terhadap karya seni dan semangat kolektif anak-anak muda Hindu di Jogja,” katanya.

Terkait unsur ritual dalam ogoh-ogoh, Gilang menegaskan bahwa tidak akan ada pembakaran ogoh-ogoh secara utuh seperti di Bali. Namun, simbolisasi tetap dilakukan dengan membakar sebagian kecil elemen, seperti rambut ogoh-ogoh, sebagai bentuk pembersihan.

“Melalui ogoh-ogoh, kami ingin turut memberi warna dalam pengembangan pariwisata kota Yogyakarta yang lebih terbuka, lebih toleran, dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal,” pungkasnya.