Home / Daerah / Forum Komunikasi Pendamping Budaya Kulon Progo Lakukan Audiensi di Pemkab

Forum Komunikasi Pendamping Budaya Kulon Progo Lakukan Audiensi di Pemkab

 

KULON PROGO,REDAKSI17.COM – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo menerima audiensi dari Forum Komunikasi Pendamping Budaya (FKPB) Kabupaten Kulon Progo di Ruang Rapat Menoreh, Kompleks Pemkab Kulon Progo, Kamis (7//8). FKPB berkenan menyampaikan berbagai program dalam mendampingi Kalurahan Budaya di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

Audiensi ini dihadiri oleh Sekretaris Daerah Triyono, S.I.P., M.Si., Asisten Pemerintahan dan Kesra (Asda I) Drs. Jazil Ambar Was’an, Staf Ahli Bidang Kesejahteraan Rakyat dan SDM Heri Darmawan, A.P., M.M., Plt. Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Triyanto Raharjo, S.Sos.M.Si., Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Drs. Agus Hidayat, M.Si., perwakilan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora), Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), serta Tim Monitoring dari Kundha Kabudayan DIY, Edi Sujatmiko, S.Sn dan Dwi Suyanto.

Dalam audiensi tersebut, Tim Monitoring dari Kundha Kabudayan DIY, Edi Sujatmiko, S.Sn., menyampaikan bahwa para pendamping ini bertugas secara aktif di lapangan mendampingi Kalurahan Budaya dan Kalurahan Mandiri Budaya, sekaligus mengoordinasikan berbagai kegiatan pelestarian dan pengembangan budaya.

“Selama pendampingan berlangsung, pemerintah daerah memberikan dukungan melalui Dana Keistimewaan, di antaranya berupa fasilitasi Gelar Seni Selasa Wagen, serta promosi seni budaya turut dilakukan di Bandara Internasional Yogyakarta (YIA),” terang Edi.

Selain itu, fasilitas yang diberikan berupa gamelan perunggu, meskipun untuk tahun ini belum menerima bantuan serupa. Fasilitas lain yang diberikan yaitu pembangunan Balai Budaya, yang sudah terlaksana di Kalurahan Kalirejo, Kalurahan Tuksono, dan Kalurahan Sukoreno.

“Hingga saat ini, terdapat 9 Kalurahan Budaya di Kulon Progo, yaitu Brosot, Bugel, Tayuban, Sogan, Kaliagung, Sentolo, Salamrejo, Giripeni, Hargorejo, dan Ngargosari. Sementara itu, Kalurahan Mandiri Budaya meliputi Pagerharjo, Jatimulyo, Hargomulyo, Glagah yang berbasis pariwisata, Tuksono berbasis UMKM, Banjarharjo berbasis pemberdayaan keluarga, serta Sidorejo dan Sendangsari. Dua kalurahan lainnya, Sukoreno dan Kalirejo, saat ini dalam tahap rintisan menuju Mandiri Budaya,” jelas Edi.

Dalam pengembangannya, lima aspek kebudayaan terus menjadi fokus pendampingan, yaitu adat dan tradisi, kesenian dan permainan tradisional, bahasa, sastra dan aksara, kerajinan, kuliner dan pengobatan tradisional, serta penataan ruang, bangunan, dan warisan budaya. Seiring dengan penetapan Mandiri Budaya, tanggung jawab pendamping kini bertambah dengan empat pilar pengembangan, yakni Desa Budaya, Desa Wisata, Desa Preneur (berbasis koperasi dan UMKM), serta Desa Prima (pemberdayaan perempuan dan keluarga melalui program Dalduk KB).

Tim Monitoring yang juga diwakili oleh Dwi Suyanto menyampaikan pentingnya sinergi lintas keahlian dan keterbukaan antarpendamping. Ia mencontohkan adanya perbedaan kebutuhan antara masyarakat dan kompetensi pendamping seperti seni rupa dan tari, yang kemudian bisa diatasi dengan pola pendampingan silang dan kolaborasi. “Kami hadir untuk mengevaluasi dan menjadi mediasi di lapangan,” tuturnya.

Dwi juga menyoroti prestasi Anjar Tri Utami, salah satu pendamping budaya Kulon Progo yang berhasil meraih predikat Pendamping Budaya Teladan Tingkat DIY, sebagai bukti kontribusi dan kualitas kerja pendamping di wilayah ini.

Plt. Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Triyanto Raharjo, mengapresiasi dedikasi para pendamping dan tim monitoring, serta menekankan pentingnya komunikasi antar pelaku budaya untuk mengatasi perbedaan karakter dan gesekan di lapangan. “Semakin banyak yang terlibat, maka akan semakin tumbuh dan berkembang kebudayaan kita,” ujarnya.

Sementara itu, perwakilan Disdikpora Eko Suratman berharap ke depan ada peluang kolaborasi antara pendamping budaya dan lembaga pendidikan, khususnya dalam memperkuat sekolah berbasis budaya yang masih kekurangan tenaga pengajar seni dan budaya.

Asda I, Drs. Jazil Ambar Was’an menambahkan bahwa peran pendamping budaya bukan sekadar menjalankan tugas administratif, tetapi juga menjadi pemantik tumbuhnya seniman-seniman baru di desa. Ia mengibaratkan dunia seni sebagai ruang yang menyenangkan, yang jika dijalani dengan hati dan kecintaan, akan melahirkan karya yang bermakna.

Sementara itu, Staf Ahli Bupati, Heri Darmawan H mengingatkan bahwa Pemkab memiliki tugas strategis dalam upaya pelestarian budaya lokal. Ia melihat para pendamping budaya sebagai agen-agen yang tidak hanya memahami, tetapi juga menguasai kebudayaan Jogja, dan memiliki potensi luar biasa untuk memperkuat jati diri daerah.

“Para pelaku seni budaya kita sebagian sudah sepuh. Regenerasi adalah keniscayaan. Pendamping harus mengajak generasi muda—SD hingga SMP—untuk mulai mencintai, berlatih, dan menghidupi seni budaya sejak dini,” katanya. Ia juga menyampaikan bahwa Pemkab mendukung penghidupan kembali Porseni tingkat SD sebagai ruang pencarian bibit unggul dan regenerasi seniman muda, serta mendorong kolaborasi lintas dinas dan pemangku kepentingan, termasuk dengan pemerintah kalurahan.

Ketua Forum Komunikasi Pendamping Budaya Rodi Martono menyampaikan bahwa seluruh anggota forum siap menjalankan amanah pendampingan budaya dari Pemerintah DIY. Mereka berkomitmen untuk bersinergi dengan berbagai pihak, termasuk jajaran OPD dan wilayah dampingan, demi mendukung keberlanjutan budaya lokal.

“Regenerasi pelaku seni terus dibangun melalui kerja sama dengan sekolah di wilayah kalurahan dampingan. Meski terkadang terdapat perbedaan pendekatan atau program, pendamping berupaya menjembatani kebutuhan di lapangan. Lebih dari sekadar kesenian, pendamping budaya juga mengangkat nilai-nilai unggah-ungguh, tatakrama, dan adat lokal agar bisa diakomodasi dalam kehidupan masyarakat,” ujar Rodi.

Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo, Triyono, S.I.P., M.Si., menyampaikan apresiasi tinggi atas dedikasi para pendamping budaya. Ia menekankan lima aspek utama pendampingan budaya, yaitu “adat dan tradisi, kesenian dan permainan tradisional, bahasa, sastra dan aksara, kerajinan, kuliner dan pengobatan tradisional, serta penataan ruang, bangunan, dan warisan budaya.”

Triyono juga menyoroti pentingnya pemahaman tata ruang, terutama aturan LSD (Lahan Sawah yang Dilindungi) dan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Ia mengingatkan, “Kepada seluruh pendamping budaya untuk terus memperkaya diri dalam memahami tata ruang, sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya yang berkelanjutan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *