JAKARTA,REDAKSI17.COM : Fraksi Partai NasDem DPR RI mengundang pencipta lagu, penyanyi, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), akademisi, Ditjen Hak Cipta, dan beberapa unsur kepentingan, untuk mendiskusikan dan mengurai polemik terkait hak cipta.
“Diskusi ini sebagai bentuk respons NasDem dari apa yang terjadi, bahwa aspirasi publik harus kita sama-sama dengarkan. Komitmen ketua umum, ketua fraksi, dan semua infrastruktur NasDem dituntut untuk adaptif, responsif, dan aspiratif terhadap dinamika yang terjadi,” kata Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya.
Willy Mengungkapkan itu dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema ‘Dari Hak Cipta ke Royalti: Kolaborasi Negara, Industri, dan Kreator Menjamin Kesejahteraan Pencipta dan Pemilik Hak terkait’ yang berlangsung di Ruang Rapat Fraksi Partai NasDem, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (22/9/2025).
Willy menekankan bahwa Fraksi NasDem mengedepankan meaningful participation dalam rangka menyongsong pembahasan revisi UU Hak Cipta. NasDem mendengarkan suara banyak pihak untuk membahas revisi UU tersebut.
“NasDem mengundang banyak kepentingan, pencipta, penyanyi, LMK. Tidak hanya itu, publik suaranya seperti apa, akademisi suaranya seperti apa. Kegaduhan yang terjadi sebelumnya juga melibatkan publik yang cukup luas. Kita dengar masalah Mie Gacoan, masalah bus-bus yang didatangi oleh LMK,” tandasnya.
Selain partisipasi publik yang bermakna, kata Willy, Fraksi Partai NasDem juga mengedepankan riset yang kuat dalam penyusunan sebuah peraturan.
“Kita tentu ingin mengembangkan, selain ruang dialog, tentu mengembangkan riset base. Teman-teman tenaga ahli men-develop beberapa model terhadap kebijakan publik terkait dengan revisi UU Hak Cipta,” tandasnya.
Lebih lanjut Willy menekankan, polemik hak cipta harus dipandang secara luas dan proporsional. Bahwa sebuah karya tidak hanya memiliki nilai ekonomi, namun juga nilai sosial, pendidikan, dan kebudayaan.
“Setiap kebijakan publik adalah manifestasi dari falsafah negara bangsa. Tidak hanya semata-mata hanya memenuhi kebutuhan orang per orang, kelompok per kelompok,” tegasnya.
“Jadi ada fungsi edukasi, fungsi kebudayaan di sana. Itu yang harus kita lihat bagaimana mendudukkan perkara itu. Jadi tidak hanya single perspective, tapi multi layer perspective untuk meletakkan sebuah kebijakan publik,” tukas Willy.