Home / Wisata dan Kuliner / Jenang dan Kue Lapis

Jenang dan Kue Lapis

Di balik manisnya kue lapis dan jenang, tersimpan kisah budaya, ketekunan, dan perjuangan yang diwariskan turun-temurun. Pak Yayuk, generasi ketiga produsen jajanan tradisional dari Desa Kebonalas, Kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten setia membuat jajanan tersebut secara alami menggunakan tungku kayu. Kue lapis buatannya dibuat menggunakan tepung beras, yang dicampur dengan santan kelapa dan gula pasir, yang dimasak di atas tungku kayu. Adonan kue lapis dibuat dalam tiga lapisan warna, yaitu putih, merah muda, dan hijau. Setiap warna memiliki filosofi yang mendalam. Warna putih melambangkan kesucian, merah muda melambangkan kasih sayang, serta warna hijau yang melambangkan kesuburan dan kedekatan dengan alam. Keistimewaan kue lapis buatan Pak Yayuk  terletak pada bahan-bahannya yang alami, dibuat tanpa pengawet, rasanya yang legit, dan tidak pahit.

Selain kue lapis, Pak Yayuk juga memproduksi jenang, yakni jajanan tradisional berbahan dasar gula aren, santan, dan tepung ketan. Bahan-bahan tersebut didapatkan langsung dari petani lokal karena masyarakat banyak menanam kelapa, juga beras ketan sebagai sumber pendapatan sampingan. Di tengah jajanan pasar berbahan tepung terigu impor, jenang merupakan alternatif jajanan lokal yang mengenyangkan dan tidak berbahaya bagi kesehatan karena dibuat tanpa pengawet dan pemanis buatan. Bagi masyarakat Jawa, jenang menjadi simbol ketekunan karena proses pengadukan bahan-bahannya dilakukan perlahan selama berjam-jam di atas tungku. Setiap potong kue ini mengandung hasil bumi yang tumbuh dari tangan-tangan petani kecil. Kelapa, beras, dan daun pisang disuplai langsung dari para petani lokal. Proses pembuatannya pun tak mengenal mesin modern. Api dari kayu bakar, pengadukan manual dengan tangan, dan proses masak yang lama adalah bagian dari ritus yang membentuk keaslian rasa dan makna.

Meskipun harga jualnya murah yakni Rp2.000 per potong, dengan keuntungan yang tipis, kue ini tak dibuat asal jadi. Bagi Pak Yayuk, kualitas bahan baku menjadi hal terpenting dalam menjual jajanan tradisional. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan jenang dan kue lapis menggunakan bahan alami dan dimasak dalam waktu yang lama, sehingga dapat tahan tanpa menggunakan pengawet. Sementara pewarna pada kue lapis secara alami bisa didapatkan dari sari daun suji, dan buah naga. Namun, jika terdapat permintaan khusus dari konsumen terkait warna, biasanya warna kue lapis dibuat menggunakan pewarna makanan yang sudah terstandarisasi oleh BPOM sehingga aman untuk dikonsumsi.

“Saya percaya rezeki sudah ada porsinya. Yang penting, bahan tidak dikurangi mutunya,” ujarnya.

Meski daya simpannya tak lama, sekitar 2 hari dalam suhu ruang, kue ini tak pernah sepi diminati konsumen karena sering disajikan dalam acara-acara pertemuan, seperti tahlilan, penyambutan tamu, kerja bakti, dan rapat desa. Bagi masyarakat lokal, menjual jajanan tradisional tak semata ditujukan untuk mencari keuntungan materi, melainkan untuk menjaga kelangsungan hidup petani dan merawat nilai budaya. Menjual jenang atau kue lapis berarti memperpanjang nafas ekonomi petani lokal, membagikan kebaikan, dan melestarikan budaya. Menurut Pak Yayuk, jenang dan kue lapis bukan sekadar makanan; keduanya adalah jembatan rasa yang menghubungkan generasi, simbol ketahanan budaya, dan semangat masyarakat yang tak pernah padam dalam merawat tradisi.

Penulis: Nurhayati (KKN-PPM UGM JT-110 Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah)

Editor: ‘Athif Yumna Hanifah

Untuk Wisata dan kuliner Jogja Hub 087849378899

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *