Gondomanan,REDAKSI17.COM –  Jogomaton itu resepsionis kota, bukan satpam Malioboro. Sehingga peran Jogomaton harus mengedepankan pelayanan yang humanis kepada masyarakat dan wisatawan. Hal tersebut ditegaskan oleh Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo saat memberikan arahan dan menyerahkan reward kepada anggota Jogomaton dalam kegiatan pembinaan di Taman Pintar, Kamis (11/12).

Hasto menjelaskan bahwa dirinya telah menyaksikan langsung dinamika bertugas di lapangan, termasuk tekanan dan kebutuhan Jogomaton akan kejelasan aturan. Menurutnya, para petugas selama ini dituntut bersikap tegas, tetapi belum memiliki payung hukum yang memadai.

“Intinya, kan, dia itu harus punya ketegasan, tapi dia sendiri tidak punya payung ketegasan itu. Itu salah satu curhat-curhat yang mereka lakukan,” ujar Hasto.

Ia memastikan Pemkot Yogya akan segera menyiapkan regulasi khusus, minimal Peraturan Wali Kota (Perwal), untuk kawasan Malioboro sebagai dasar petugas dalam mengambil tindakan.

 

Jogomaton

Hasto menegaskan bahwa anggota Jogomaton bukanlah petugas keamanan penuh, melainkan reception bagi para pengunjung kota. Karena itu, pendekatan mereka harus mencerminkan sikap melayani, bukan sekadar menjaga.

“Dia harus bisa membawakan diri sebagai orang yang melayani, bukan sebagai petugas keamanan yang ansich seolah-olah seperti security full. Tapi maksud saya, dia itu reception,” tuturnya.

Hasto juga mendorong Jogomaton untuk memahami karakter setiap orang, membaca bahasa tubuh, dan tidak menerapkan pendekatan yang seragam. Pelayanan yang humanis, katanya, harus spesifik dan menyesuaikan dengan kondisi serta perilaku masyarakat.

“Humanis itu tidak pukul rata. Orang-orang itu berbeda, sehingga kita ingin memberikan layanan sesuai dengan karakter orang-orang itu,” katanya.

Sebagai bagian dari perubahan, Hasto mengusulkan penyesuaian pada sisi penampilan, termasuk kostum yang tidak bernuansa militer, tetapi lebih mencerminkan budaya Yogyakarta. Perubahan tersebut diharapkan turut membentuk cara berkomunikasi dan pola pikir yang lebih melayani.

“Dimulai dari kostumnya yang lebih ke budaya. Dari penampilan, ucapan, hingga mindset yang berbeda,” ujarnya.

Dalam kegiatan tersebut, Wali Kota Hasto Wardoyo menyerahkan penghargaan kepada regu terbaik Jogomaton tahun 2025 berdasarkan evaluasi kinerja, penilaian performa, serta penindakan pelanggaran. Dua regu terbaik yang menerima penghargaan adalah Regu Ontoneso dengan Danru Bendi Irwanto dan Regu Puntodewo dengan Danru Risang Setiawan. Penghargaan tersebut diberikan sebagai bentuk apresiasi atas kinerja mereka dalam menjaga ketertiban dan kenyamanan serta keberhasilan menangani pelanggaran di kawasan Malioboro, Mangkubumi, dan Titik Nol.

Penyerahan penghargaan kepada regu jogomaton

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti dalam arahannya menjelaskan bahwa Jogomaton berjumlah 190 personel yang dibagi dalam tiga zona penugasan Mangkubumi empat regu, Malioboro delapan regu, dan Titik Nol empat regu dengan masing-masing tiga shift.

Ia menilai banyak progres positif yang sudah dicapai Jogomaton, namun tetap mengingatkan bahwa tugas di kawasan Malioboro membutuhkan kombinasi ketegasan dan keramahan.

“Harus tegas, tapi bagaimana kita harus menjaga hospitality ataupun keramah-tamahan kita. Itu tidak mudah, tapi bisa dilakukan,” katanya.

Selain itu, petugas tidak boleh abai terhadap pelanggaran, terutama yang terjadi di depan posko. “Kan ironis ya, di depan posko masa ada pelanggaran. Seolah-olah mereka itu tidak melihat kita ataupun meniadakan kita. Itu parah kalau sampai meniadakan kita.” lanjutnya.

Yetti juga meminta seluruh personel memahami jenis-jenis pelanggaran yang ada di Mangkubumi, Malioboro, maupun Titik Nol, serta mengacu pada Perwal Nomor 25 Tahun 2025 mengenai pengelolaan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Dunia. Pelanggaran seperti sampah, asongan, pengamen, otoped, pelanggaran KTR, parkir liar, hingga jasa pijat harus ditindak sesuai prosedur.

Pihaknya juga mendorong petugas bekerja sesuai zonasi dan tetap aktif bergerak agar kawasan tetap tertib. Ia juga menekankan agar waktu istirahat dilakukan bergantian, bukan bersamaan. “ Dan saya minta tolong untuk benar-benar dijaga. Itu menjadi ya, bentuk profesionalitas kita. Jangan sampai kita tuh dianggap tidak profesional,” pesannya.

 

 

Salah satu anggota Jogomaton, Dwi Andang Hardono, menyampaikan langsung kondisi yang dihadapi setiap hari di Malioboro. Ia menceritakan bahwa pelanggaran yang terjadi sangat banyak dan kerap memicu gesekan antara petugas dan pelanggar. Meski demikian, pihaknya selalu mengedepankan pendekatan humanis dan edukatif, namun beberapa pelanggar tetap bersikap agresif.

“Kita sudah humanis, kita edukasi. Terkadang ada beberapa pelanggar itu yang sedikit tensinya naik. Kadang-kadang itu sampai hampir menyerang. Sebenarnya kalau kita gesekan itu bukan karena kita menyerang, tapi kita mempertahankan, melindungi diri,” katanya.

Dwi Andang menyampaikan bahwa selama ini Jogomaton hanya dianggap petugas yang sebatas memberi himbauan. Padahal, pihaknya sering melakukan tindakan tegas seperti penyitaan alat mengamen atau barang dagangan pelanggar, namun tidak menimbulkan efek jera.

“Jawabannya, Jogomaton itu hanya sebatas menghimbau. Dan kita sebenarnya sudah melakukan banyak tindakan tegas. Tapi itu juga sampai saat ini belum juga menimbulkan efek jera,” ucapnya.

Ia meminta arahan wali kota terkait perlindungan hukum maupun sertifikasi yang dapat memperkuat dasar tindakan Jogomaton di lapangan. “Barangkali teman-teman ini bisa diberikan payung hukum atau sertifikasi hukum. kalau misalkan kita melakukan penindakan di lapangan itu ada dasarnya. Mungkin ada arahan dari Bapak Wali, piye toh carane menghadapi pelanggar-pelanggar sing ndableg itu?” katanya.