Jakarta,REDAKSI17.COM – Harga batu bara terkoreksi dua hari beruntun setelah sempat terbang tinggi. Sejumlah lembaga bahkan memprediksi biaya batu bara akan terus melemah.
Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Selasa (23/4/2024), biaya kontrak batu bara Mei acuan ICE Newcastle turun 0,91% menjadi US$ 136,75 per ton. Pelemahan ini melanjutkan koreksi pada sehari sebelumnya sebesar 2,65%.
Sebagai catatan, nilai tukar jual US$ 141,75 pada Jumat lalu tercatat menjadi tarif tertinggi sejak awal tahun.
UBS pada Selasa (22/4/2024) merevisi proyeksi tarif batu bara metalurgi untuk 2024. Dalam pandangan terbarunya, UBS memperkirakan nilai batu bara metalurgi akan berada di area area kisaran US$ 265 per ton. Harga ini lebih banyak banyak rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni US$ 286 per ton.
Proyeksi lebih banyak lanjut pesimis juga disampaikan S&P Global. Dilansir dari Hellenic Shipping News.com, dalam hitungan baru S&P, nilai batu bara metalurgi Australia akan berada dalam tempat bilangan bulat US$ 283 per to untuk 2024. Harganya lebih banyak lanjut rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni US$ 289 per ton.
Melimpahnya pasokan serta di tempat tempat sisi lain permintaan masih stagnan memproduksi tarif batu bara metalurgi diproyeksi tak akan terbang.
Kenaikan pasokan akan datang dari Australia, terutama Queensland. Ekspor Australia sudah meningkat 58% (year on year/yoy) pada Februari 2024. Produksi merekan diperkirakan masih bisa saja cuma naik tetapi permintaan dunia masih lemah.
Sebagai catatan, kantong-kantong produsen batu bara Australia sempat mengalami permasalahan pada 2022 juga 2023 dikarenakan gangguan cuaca.
Harga batu bara yang dimaksud mendingin juga terjadi seiring dengan ketegangan geopolitik dalam Timur Tengah mulai mereda setelah Iran meremehkan serangan Israel pada tempat wilayahnya minggu lalu serta mengatakan pihaknya tiada ada berencana untuk menanggapinya.
Dengan ketegangan yang mana mana mereda maka pasokan komoditas energi, terutama minyak, diharapkan tak ada terganggu. Kondisi ini berimbas pada nilai tukar jual batu bara yang digunakan mana merupakan substitusi minyak.
Meski demikian, China sebagai konsumen terbesar batu bara dalam dalam dunia masih melanjutkan kebijakan untuk meningkatkan pembangkit listrik tenaga batu bara guna meningkatkan keamanan energinya juga juga melawan meningkatnya ketegangan geopolitik, serta menjaga volatilitas nilai tukar mata uang asing sejak pandemi ini.
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan janji Tiongkok sebelumnya untuk mengurangi pembangkit listrik dari tenaga batu bara. Hal ini menggalakkan penanam modal percaya bahwa Tiongkok masih akan terus bergantung pada batu bara.
Negeri selama Panda ini juga telah dilakukan diimplementasikan mengumumkan rencana untuk membangun tambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 70 gigawatt pada tahun ini, memperluas 47 gigawatt yang digunakan itu dibangun tahun lalu, serta dibandingkan dengan hanya saja belaka 3,7 gigawatt pada pembangkit listrik yang sudah pensiun.
CNBC INDONESIA RESEARCH