Ketua Program Studi Akuntansi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia.
Selama satu dekade terakhir, skandal korupsi di badan usaha milik negara (BUMN) terus bermunculan. Kasus Jiwasraya yang merugikan negara Rp 16,8 triliun, skandal Waskita Karya Rp 2,5 triliun, kasus Antam yang mencapai Rp 100 triliun, hingga megakorupsi PT Pertamina Patra Niaga yang belum sepenuhnya terungkap, menunjukkan lemahnya pengawasan dan tata kelola di perusahaan pelat merah.
Jumlah kerugian negara akibat korupsi di BUMN dalam 10 tahun terakhir mencapai ratusan triliun rupiah. Ini menandakan bahwa permasalahan bukan hanya pada individu, juga pada sistem. Salah satu titik lemah yang patut disorot adalah keberadaan komisaris yang lebih sering diisi berdasarkan pertimbangan politik dibandingkan profesionalisme.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas telah mengatur tugas dan fungsi komisaris. Pasal 108 ayat (1) menyebutkan komisaris bertugas mengawasi kebijakan direksi serta memberikan nasihat terkait pengelolaan perusahaan. Namun, dalam praktiknya, peran komisaris di BUMN sering kali hanya formalitas. Banyak komisaris yang tidak memiliki keahlian atau pengalaman di sektor yang mereka awasi. Akibatnya, pengawasan menjadi longgar, sehingga membuka peluang bagi direksi atau pihak lain untuk melakukan penyimpangan.
Idealnya, BUMN membutuhkan komisaris yang memiliki kompetensi tinggi di bidang ekonomi, keuangan, hukum, serta manajemen perusahaan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kursi komisaris kerap menjadi tempat distribusi jabatan bagi tim kampanye atau individu yang memiliki kedekatan politik.
Politik dalam BUMN
Fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya mantan pejabat politik yang mendapatkan posisi strategis pada jajaran komisaris BUMN setelah pemilu. Minimnya pengalaman membuat mereka cenderung menjadi beban daripada aset bagi perusahaan. Akibatnya, pengawasan yang seharusnya ketat justru menjadi lemah, sekaligus membuka peluang terjadinya skandal korupsi.
Penunjukan komisaris di BUMN seharusnya berlandaskan kompetensi dan profesionalisme, bukan sekadar afiliasi politik. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas komisaris masih didominasi orang-orang yang memiliki keterkaitan politik dengan pemerintah yang berkuasa.
Hal tersebut membawa dampak negatif, antara lain: minimnya kontribusi dalam pengawasan dan pengelolaan BUMN; beban keuangan yang tinggi; serta meningkatnya risiko korupsi dan inefisiensi.
Selain isu komisaris yang berasal dari afiliasi politik, fenomena rangkap jabatan di BUMN juga memperumit tata kelola perusahaan. Baru-baru ini, Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk beberapa wakil menteri dan direktur jenderal sebagai komisaris pada bank-bank pelat merah. Penunjukan ini bertujuan menyinergikan kebijakan pemerintah dengan strategi perbankan BUMN.
Penunjukan pejabat kementerian sebagai komisaris BUMN justru berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan pengabaian tugas utama. Setidaknya ada tiga dampak negatif rangkap jabatan tersebut. Pertama, potensi konflik kepentingan. Seorang pejabat yang menjabat di kementerian dan BUMN secara bersamaan bisa memiliki agenda-agenda yang bertentangan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat.
Kedua, kurang fokus dalam menjalankan tugas utama. Pejabat yang merangkap jabatan akan kesulitan membagi perhatian dan tenaga untuk memastikan kedua perannya berjalan optimal, serta ketiga, beban biaya yang tidak perlu. BUMN harus membayar gaji dan tunjangan komisaris, sementara pejabat tersebut masih menerima gaji dari jabatan utamanya pada kementerian.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan reformasi regulasi terkait pengangkatan komisaris di BUMN. Setidaknya ada lima langkah yang bisa diambil. Pertama, melarang rangkap jabatan di BUMN. Seorang pejabat pemerintah tidak seharusnya merangkap sebagai komisaris untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan profesionalisme dalam pengawasan perusahaan.
Kedua, mekanisme seleksi berbasis kompetensi. Setiap kandidat komisaris harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang ketat. Ketiga, transparansi dalam proses rekrutmen. Penunjukan komisaris harus diumumkan secara terbuka dengan kriteria yang jelas.
Kemudian, keempat, evaluasi kinerja berkala. Komisaris yang tidak menunjukkan kontribusi nyata harus segera diganti dengan orang yang lebih kompeten, serta kelima, membatasi jumlah komisaris dari kalangan politik. BUMN harus bebas dari intervensi politik yang berlebihan agar dapat beroperasi secara profesional.
Tata Kelola BUMN di Negara Maju
Negara-negara maju umumnya memiliki pengelolaan BUMN yang lebih profesional dengan menekankan tata kelola yang baik (good corporate governance). BUMN di negara-negara, seperti Jerman, Singapura, dan Swedia, dikelola dengan pendekatan berbasis kinerja, efisiensi, serta transparansi. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai regulator daripada pengelola langsung, sehingga manajemen BUMN diberikan otonomi yang cukup untuk beroperasi secara kompetitif. Selain itu, ada pemisahan yang jelas antara peran pemerintah dan manajemen perusahaan. Hal ini memastikan BUMN tetap berjalan secara profesional tanpa intervensi politik berlebihan.
Dalam hal mekanisme seleksi komisaris, negara-negara maju menerapkan proses yang ketat berbasis kompetensi dan pengalaman. Kandidat komisaris harus memiliki latar belakang yang relevan di sektor industri yang dikelola BUMN tersebut, serta memiliki rekam jejak yang terbukti dalam manajemen atau kebijakan korporasi. Selain itu, jumlah ideal komisaris di BUMN negara-negara maju cenderung lebih ramping, berkisar antara 5 hingga 9 orang, tergantung pada skala bisnis perusahaan. Jumlah ini dianggap cukup untuk memastikan pengambilan keputusan yang efektif tanpa menyebabkan birokrasi berlebihan.
Dari segi gaji dan remunerasi, komisaris BUMN di negara maju menerima kompensasi yang sebanding dengan tanggung jawab serta skala bisnis yang mereka awasi. Namun, sistem penggajian mereka lebih berbasis kinerja, dengan bonus dan insentif yang terkait langsung dengan pencapaian target perusahaan. Di Indonesia, gaji dan remunerasi komisaris BUMN sering kali menjadi perdebatan karena dianggap tidak selalu mencerminkan kinerja perusahaan. Beberapa komisaris di Indonesia menerima gaji tinggi, meskipun perusahaan yang mereka awasi mengalami kerugian, sementara di negara maju, kegagalan perusahaan biasanya berkonsekuensi pada penyesuaian kompensasi komisaris.
Harapan untuk BUMN
BUMN memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, tata kelolanya harus dilakukan dengan profesionalisme tinggi dan bebas dari intervensi politik yang tidak sehat.
Jika praktik penunjukan komisaris berdasarkan kepentingan politik dan rangkap jabatan terus dibiarkan, bukan hanya tata kelola BUMN yang semakin buruk, kepercayaan publik dan investor akan semakin menurun.
Sebagai negara yang ingin maju, Indonesia harus berani melakukan reformasi mendasar dalam manajemen BUMN. Profesionalisme harus menjadi prinsip utama, bukan kepentingan politik. Hanya dengan cara ini, BUMN bisa benar-benar berkontribusi bagi perekonomian nasional dan tidak lagi menjadi sarang skandal korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.





