Home / Politik / Krisis Kaderisasi PPP: antara Figur Kepemimpinan dan Godaan Pemodal Partai

Krisis Kaderisasi PPP: antara Figur Kepemimpinan dan Godaan Pemodal Partai

Jakarta,REDAKSI17.COM – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) lahir dari fusi empat partai Islam–NU, Parmusi, PSII, dan Perti–pada 1973, mewarisi tradisi politik yang mengakar sejak era kemerdekaan. Namun, kini PPP menghadapi ujian terberat: kegagalan kaderisasi versus ketergantungan pada pemodal politik. Data Pemilu 2019–2024 menunjukkan tren memprihatinkan: suara PPP merosot dari 6.323.147 suara (2019) menjadi 5.878.777 suara (2024), gagal lolos ke DPR untuk pertama kalinya karena belum mampu melampaui ambang batas parlemen/parliamentary threshold (PT) 4 persen pada Pileg DPR RI 2024. Di tengah krisis ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah partai ini butuh ketua umum sejati seperti Syaifullah Yusuf—produk kaderisasi NU yang terbukti—atau sekadar “pemodal partai” yang menjanjikan suntikan dana instan?

Syaifullah Yusuf: Produk Keberhasilan Kaderisasi NU

Syaifullah Yusuf, atau Gus Ipul, merupakan figur yang lahir dari sistem kaderisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mapan dan berjenjang. Kariernya dimulai dari kepemimpinan Gerakan Pemuda Ansor, berlanjut sebagai anggota DPR, hingga masuk dalam kabinet sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepercayaan terhadap kapasitasnya juga ditunjukkan dengan dua periode sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur, sekaligus masa kepemimpinannya sebagai Wali Kota Pasuruan. Transisi kepemimpinan nasional juga terlihat melalui pengangkatannya sebagai Menteri Sosial di Kabinet Indonesia Maju di bawah Presiden Joko Widodo—di mana beliau mengambil alih tugas dari Tri Rismaharini yang mengundurkan diri—dan kemudian kembali dipercaya pada Kabinet Merah Putih pimpinan Prabowo Subianto.

Keseluruhan perjalanan politiknya mencerminkan keberhasilan kaderisasi berbasis ideologis dan sosial-kultural yang dilakukan NU. Dalam konteks krisis kaderisasi yang dialami PPP, figur seperti Gus Ipul menjadi relevan sebagai representasi “kaderisasi ideologis yang teruji”. Pertanyaannya: mengapa PPP tidak membangun atau merangkul figur serupa dari rahim kulturalnya sendiri? Apakah partai ini telah kehilangan orientasi kaderisasi karena lebih memilih aktor pragmatis yang bermodal finansial, namun miskin akar sosial?

PPP: Dari Partai Kader ke Partai Taksi?

Kemerosotan elektoral Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam dua pemilu legislatif terakhir—dari 19 kursi DPR pada 2019 hingga tersingkir dari Senayan pada 2024—bukan sekadar penurunan suara, melainkan cerminan dari kegagalan struktural dalam sistem kaderisasi. Sebagai partai warisan fusi kekuatan politik Islam, PPP sejatinya lahir sebagai cadre party, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Maurice Duverger: partai yang tumbuh dari jaringan ideologis dan pengkaderan internal yang ketat (Duverger, 1954). Namun dalam perkembangannya, PPP justru tergelincir menjadi versi setengah matang dari catch-all party—yakni partai yang pragmatis, mengakomodasi siapa pun yang menjanjikan kemenangan elektoral, tetapi miskin akar ideologis dan institusional (Kirchheimer, 1966).

Alih-alih mereproduksi figur kepemimpinan hasil kaderisasi ideologis seperti Syaifullah Yusuf—yang meniti jenjang dari GP Ansor hingga kementerian—PPP lebih sering mengorbitkan figur instan, tanpa pembinaan jangka panjang atau uji kesetiaan nilai. Contoh seperti Arsul Sani, seorang teknokrat yudisial yang masuk ke gelanggang politik tanpa jejak ideologis yang terhubung dengan kultur internal partai, menunjukkan ketergantungan PPP pada strategi imported elite. Fenomena ini mencerminkan kegagalan PPP membangun meritokrasi rekrutmen yang berbasis nilai dan kapasitas, sebagaimana dikembangkan oleh organisasi seperti Muhammadiyah atau PKB, yang secara konsisten membina kader melalui jalur ideologis dan komunitarian (Katz & Mair, 1995; Scarrow, 1996).

Krisis ini diperparah oleh gejala oligarkisasi partai, di mana kekuasaan dalam tubuh PPP dikuasai oleh segelintir elite yang lebih mengandalkan modal finansial dan jaringan kekuasaan ketimbang legitimasi kaderisasi. Skandal korupsi Ketua Umum PPP 2018, Romahurmuziy, bukanlah insiden personal, melainkan gejala struktural dari kegagalan partai membangun sistem penyaringan elite yang berbasis integritas dan ideologi. Dalam kerangka Vedi Hadiz (2010), kasus ini dapat dipahami sebagai bentuk oligarkisasi moral hazard, di mana elite partai yang lahir tanpa proses kaderisasi tidak memiliki loyalitas terhadap nilai atau organisasi, melainkan hanya terhadap akumulasi kekuasaan dan sumber daya. Kontras terlihat pada NU yang memiliki Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) sebagai saringan keilmuan, atau Muhammadiyah dengan Majelis Tarjih sebagai mekanisme meritokratis penyemaian pemimpin.

Lebih ironis lagi, PPP cenderung mengulangi kesalahan partai-partai satelit kapital—seperti Hanura (Oesman Sapta), Berkarya (Tommy Soeharto), atau Perindo (Harry Tanoe)—dengan menaruh harapan pada pemodal eksternal, seraya mengabaikan kenyataan bahwa modal finansial tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas. Ketergantungan pada elite ekonomi atau birokrat tanpa akar ideologis ini hanya akan menjauhkan PPP dari basis massanya yang bersejarah. Dalam perspektif sosiologi politik, ini merupakan dislokasi identitas: partai yang terjebak antara romantisme masa lalu dan realitas oligarkik masa kini.

Solusi atas krisis ini tidak bisa bersifat tambal sulam. PPP membutuhkan revolusi kaderisasi melalui tiga langkah utama: (1) membentuk akademi politik berbasis kurikulum ideologis dan keterampilan digital untuk generasi muda; (2) mengadopsi sistem meritokrasi ketat dalam seleksi kader sebagaimana diterapkan Muhammadiyah; dan (3) melepaskan ketergantungan pada pemodal dengan mengembangkan sumber daya mandiri dan jaringan kultural yang telah ada sejak masa pesantren. Tanpa reposisi struktural semacam ini, PPP hanya akan menjadi fosil politik—hidup dari nostalgia, tetapi kehilangan relevansi dalam medan politik yang semakin kompetitif dan modern.

Kegagalan Struktural dan Kebutuhan Reboot Institusional

Dalam kerangka teori kelembagaan (North, 1990), kegagalan PPP mereformasi struktur internal menunjukkan ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan institusional. Alih-alih membangun internal labor market (Doeringer & Piore, 1971) untuk kaderisasi, PPP justru masuk dalam logika short-term electoral capitalism (Hopkin, 2020). PPP gagal membangun institutional memory yang menjaga kesinambungan ideologis dan pengalaman.

Tak adanya sekolah partai dan minimnya inovasi dalam rekrutmen membuat PPP tertinggal dibanding partai-partai yang sukses membina kader secara sistematis. Tokoh seperti Muhaimin Iskandar (PKB), Zulkifli Hasan (PAN), hingga Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra) menunjukkan pentingnya sistem kaderisasi formal. Sementara itu, PPP justru kehilangan relevansi dalam wacana nasional.

Transformasi struktural harus dimulai dari reformasi mendalam: (1) membangun akademi politik berbasis ideologi dan literasi digital; (2) mengadopsi sistem meritokrasi dalam seleksi kader; dan (3) mengembangkan sumber daya pendanaan partai yang mandiri dan transparan. Jika gagal melakukan pembaruan ini, PPP akan menjadi monumen sejarah politik yang dikenang tapi tak lagi diharapkan.

Figur Pemimpin dan Jalan Keluar

Dalam situasi krisis ini, PPP membutuhkan figur pemimpin yang tidak hanya populer, tetapi berakar dalam tradisi kaderisasi dan mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan tantangan kontemporer. Syaifullah Yusuf adalah contoh nyata—kader yang telah melalui proses struktural, memiliki kapasitas teknokratik dan legitimasi ideologis. Dengan kepemimpinan semacam itu, PPP berpeluang melakukan reboot institusional dan keluar dari jebakan oligarki politik. Pilihannya jelas: menjadi partai warisan yang punah, atau partai masa depan yang bangkit lewat kaderisasi, integritas, dan inovasi digital.

Bahan Bacaan:

Duverger, M. (1954). Political Parties: Their Organization and Activity in the Modern State. New York: Wiley.

Kirchheimer, O. (1966). “The Transformation of the Western European Party Systems.” In LaPalombara, J. & Weiner, M. (Eds.), Political Parties and Political Development. Princeton University Press.

Hadiz, V. R. (2010). Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective. Stanford University Press.

Katz, R. S., & Mair, P. (1995). “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party.” Party Politics, 1(1), 5–28.

Scarrow, S. (1996). Parties and Their Members: Organizing for Victory in Britain and Germany. Oxford University Press.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *