Jakarta,REDAKSI17.COM – Krisis utang tengah melanda dunia, termasuk negara-negara perekonomian berkembang atau emergin markets. Bahkan, permasalahan itu mendapat perhatian khusus dari Paus Fransiskus saat Pertemuan Vatikan yang digunakan mana digelar tahun ini juga turut dihadiri ekonom kemudian petinggi perbankan dunia.
Dalam pertemuan bertajuk ‘Debt Crisis in the Global South’ 5 Juni lalu itu, Paus Fransiskus menyampaikam kepada para bankir juga ekonom bahwa negara-negara termiskin pada dunia terbebani oleh utang yang digunakan digunakan tidaklah dapat dikelola kemudian juga negara-negara kaya perlu berbuat lebih lanjut banyak banyak untuk membantu.
Negara-negara berkembang menghadapi tekanan utang rakyat sebesar US$ 29 triliun. Lima belas negara dalam kategorinitu membelanjakan tambahan banyak banyak uang untuk pembayaran bunga dibandingkan untuk pendidikan, menurut laporan terbaru Konferensi Perdagangan serta Pembangunan PBB. 46 negara dalam antaranya menghabiskan lebih banyak lanjut banyak uang untuk pembayaran utang dibandingkan untuk anggaran belanja layanan kesehatan.
Mengutip laporan The New York Times, krisis utang itu merupakan permasalahan berulang dalam era perekonomian global modern. Namun kesulitan utang yang dimaksud digunakan terjadi saat ini merupakan yang tersebut digunakan terburuk sejauh ini. Apalagi, secara keseluruhan, utang pemerintah dalam seluruh dunia meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2000.
Pemicunya mulai dari belanja pemerintah yang yang berlebihan atau salah urus, hingga fenomena permasalahan global yang digunakan bukan dapat dikendalikan oleh sebagian besar negara telah terjadi lama menyebabkan permasalahan utang mereka semakin parah.
Di antaranya Pandemi Covid-19 yang mana dimaksud sudah menyebabkan roda industri berhenti lalu pendapatan pekerja anjlok, pada saat yang tersebut mana identik biaya layanam kesehatan lalu juga bantuan sosial meningkat. Konflik kekerasan dalam dalam Ukraina kemudian negara lain berkontribusi pada kenaikan nilai tukar jual energi juga pangan. Bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan lanjakan inflasi. Pertumbuhan global juga tengah melambat.
Apa yang mana digunakan disampaikan Paus Fransiskus sebetulnya serupa dengan yang tersebut mana disampaikan Paus Yohanes Paulus II pada pertemuan yang mana serupa 25 tahun lalu. Kedua Paus itu mengaitkan seruan dia dengan apa yang digunakan hal itu merekan namakan sebagai Yobel (Jubilee) atau tahun suci. Yobel merupakan sebuah perayaan yang yang berakar pada Alkitab juga juga dikaitkan dengan periode ketika para budak dibebaskan juga juga hutangnya diampuni.
Perayaan Yobel yang digunakan digunakan digelar pada 2000 juga diikuti oleh koalisi yang tersebut digunakan terdiri dari para pemimpin agama, musisi, akademisi, kaum konservatif evangelis, aktivis liberal, juga politisi, sebetulnya turut mengampanyekan perlunya penghapusan utang untuk menghadapi krisis itu. Lebih dari 21 jt orang menandatangani petisi yang mana dimaksud mengupayakan pengampunan utang. Hal ini pada akhirnya menghasilkan upaya global yang tersebut digunakan menghapuskan tambahan lanjut dari US$ 100 miliar utang dari 35 negara miskin.
Paus Fransiskus menghidupkan kembali gagasan Kampanye Yobel untuk tahun 2025. Ditunjuk sebagai kardinal di dalam dalam Argentina pada 2001 atau tahun puncak keruntuhan keuangan negara tersebut, Paus Fransiskus memang sudah terjadi melihat secara langsung penderitaan kemudian kerusuhan yang tersebut dapat diakibatkan oleh krisis utang.
Dia menyerukan metamorfosis sistem keuangan global selain program penghapusan utang. “Mari kita memikirkan arsitektur keuangan internasional baru yang mana dimaksud berani juga kreatif,” katanya pekan lalu, dilansir nytimes.com, Sabtu (15/6/2024).
Pidato Paus Fransiskus saat pertemuan Vatikan itu merupakan bentuk pengakuan bahwa permasalahan utang abad ini jarak sangat lebih lanjut besar rumit dibandingkan permasalahan utang sebelumnya.
Letak perbedannya ialah utang itu sebagian besar dipegang oleh segelintir bank besar dari negara-negara Barat kemudian organisasi bangunan internasional yang digunakan sudah berusia puluhan tahun. Selain itu, saat ini, negara-negara pengutang juga harus berhadap dengan ribuan pemberi pinjaman swasta lalu negara kreditor seperti China, serta berbagai perjanjian pinjaman rahasia yang tersebut diatur oleh peraturan nasional yang digunakan digunakan berbeda.
Banyak ekonom serta pembuat kebijakan berpandangan bahwa mekanisme kemudian lembaga, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) , yang tersebut dibentuk 80 tahun lalu untuk menangani negara-negara yang tersebut itu mengalami kesulitan keuangan sudah tiada mampu lagi melakukan tugasnya.
Indermit Gill, kepala ekonom dalam Bank Dunia, salah satunya, yang dimaksud digunakan menyampaikan pada oekan ini ketika bank itu merilis laporan dunia usaha global terbarunya dengan memperingatkan dampak utang yang mana melumpuhkan saat ini terjadi pada saat pertumbuhan dunia usaha negara-negara dunia melambat.
Penghapusan utang “merupakan bagian terlemah dari arsitektur keuangan global,” kata Gill. Perubahan dalam struktur pinjaman menurutnya “membutuhkan kerangka restrukturisasi utang baru yang mana belum kami miliki.”
Meningkatnya perselisihan antara China lalu Amerika Serikat sudah pernah mempersulit penyelesaian krisis utang. Dan tak ada lembaga internasional yang dimaksud mana dapat menjadi wasi atau mempunyai wewenang atas semua pemberi pinjaman – yang digunakan setara dengan pengadilan kebangkrutan – untuk mengadili perselisihan. Pendanaan dari lembaga-lembaga seperti IMF juga tak mampu mengimbangi pertumbuhan kegiatan sektor ekonomi global atau beban utang.
Martin Guzmán, mantan menteri keuangan Argentina yang mana dimaksud juga sempat merasakan dampak buruk dari krisis utang negara asalnya, turut menghadiri pertemuan Vatikan pekan lalu itu. Ia bahkan sempat memproduksi pengakuan bahwa bantuan IMF kadang-kadang kontraproduktif, dengan menawarkan pinjaman dana talangan (bailout) yang dimaksud sekarang berbunga tinggi, namun pada akhirnya menambah beban utang suatu negara.
Dia juga mengecam biaya tambahan yang mana digunakan dibebankan oleh IMF kepada debitur berisiko tinggi yang dimaksud digunakan tengah mengalami kesulitan keuangan, sehingga menyedot dana berharga yang mana dimaksud dapat digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan lalu membangun kembali perekonomian negara itu.
Lima negara peminjam terbesar yakni Ukraina, Mesir, Argentina, Ekuador kemudian juga Pakistan sudah pernah membayar US$ 2 miliar sebagai biaya tambahan tahun lalu, menurut Center for Economic and Policy Research. Rata-rata, biaya tambahan pada akhirnya meningkatkan biaya pinjaman untuk semua negara yang digunakan terkena dampak sebesar hampir 50%.
Saat ini, prospek negara-negara yang mana mana terlilit utang sangat suram mengingat lambatnya pertumbuhan dunia bisnis mereka. Negara-negara berkembang tidaklah mempunyai uang untuk membiayai pendidikan, infrastruktur, teknologi, lalu layanan kesehatan. Menurut IMF, sekitar 60 persen negara berpendapatan rendah berada dalam atau berisiko tinggi mengalami kesulitan utang.
Pada saat yang tersebut sama, diperlukan triliunan dolar tambahan untuk melindungi negara-negara rentan ini dari cuaca ekstrem serta memungkinkan merekan memenuhi tujuan iklim internasional.
Sekembalinya dari Pertemuan Vatikan, Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom pada Bank Dunia, mengatakan bahwa selama kampanye utang Jubilee tahun 2000, “ada optimisme bahwa kita sudah pernah mengambil pelajaran,” kemudian bahwa program pengampunan utang akan “memecahkan permasalahan dalam tempat masa depan.”
Namun, faktanya, ia mengatakan hal itu “Jelas belum,” tercipta hingga saat ini. Malahan “masalahnya menjadi sangat lebih lanjut besar buruk daripada yang digunakan kita bayangkan 25 tahun lalu.”