Yogyakarta (30/01/2025) REDAKSI17.COM – Hajat Dalem Labuhan Parangkusumo, tradisi Keraton Yogyakarta pada Tingalan Jumenengan Dalem (Ulang Tahun Kenaikan Takhta) Sri Sultan Hamengku Buwono X, kembali digelar. Labuhan Parangkusumo menjadi bagian tak terpisahkan yang melibatkan sakralnya ritual sarat makna akan budaya dan tradisi.
Labuhan Parangkusumo yang digelar pada Kamis (30/01) bertepatan dengan Tingalan Jumenengan Dalem ke-36 Sri Sultan Hamengku Buwono X ini, digelar di Pantai Parangkusumo, Bantul. Diadakan rutin setiap tahun pada bulan ruwah, labuhan ini menjadi puncak Tingalan Jumenengan Dalem JE 1985/2025. Sebelumnya acara telah dibuka dengan prosesi Ngebluk (27/01), lalu selanjutnya Ngapem (28/01), dilanjutkan Sugengan Tingalan Jumenengan Dalem (29/01), dan ditutup dengan labuhan pada tiga tempat yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi dan Lawu.
Miyarto, penggiat budaya sekaligus abdi dalem Keraton Yogyakarta mengatakan, labuhan memiliki berbagai fungsi yang sangat filosofis. Fungsi tersebut diantaranya sebagai permohonan dan ucapan terima kasih atas apa yang sudah alam berikan.
“Labuhan itu adalah sebuah persembahan untuk menghargai alam semesta yang mana itu juga kepada Tuhan,” ungkap Miyarto.
Ia menjelaskan, terdapat 30 ubarampe yang di labuh, antara lain pakaian, celana, potongan rambut, dan blangkon. Ubarampe tersebut sebelumnya sudah diinapkan satu malam di Bangsal Srimanganti, kemudian diberangkatkan dari Kraton Yogyakarta pukul 08.00 WIB ke Parangkusumo. Ubarampe di lepas oleh KPH Wironegoro, KPH Purbodiningrat, KPH Purbodiningrat dan KPH Yudonegoro yang merupakan mantu dalem, kepada abdi dalem untuk di labuh.
Miyarto berharap, acara ini mampu menggugah keinginan generasi muda untuk berkontribusi juga untuk melestarikan kebudayaan. “Saya harap anak muda jangan hanya sampai pada tahap mengetahui, tetapi juga harus mengerti, mengenal dan mencintai budayanya. Karena, ini kan tradisi yang nantinya akan diteruskan nilai-nilai filosofinya harus dilanjutkan,” pungkasnya.
Kusuma, dosen UGM yang merupakan pelaku budaya menjelaskan, prosesi labuhan adalah wujud kearifan lokal yang dapat bersatu dengan alam, sehingga dapat membentuk kekuatan. Akulturasi ini menjadi bagian penting dari pelestarian budaya dan tradisi, agar tidak tergerus zaman, terutama karena paparan teknologi.
“Saya kira perlu adanya pusat informasi terkait acara labuhan itu di Parangkusumo jika acara tersebut berlangsung. Hal ini agar dapat mengedukasi masyarakat lebih luas dan tidak meninggalkan kearifan lokal,” ujarnya.
Selain sebagai bentuk tradisi dan budaya, acara sakral penuh filosofis ini juga menarik antusiasme masyarakat, baik dari Yogyakarta maupun luar. Rega Putra, salah satu wisatawan asal lampung turut serta berebut uborampe. Sakralnya prosesi labuhan, membuatnya tertarik untuk ikut serta mengikuti prosesi tersebut.
“Senang sekali karena mendapatkan hadiah ya, nantinya bunga hasil labuh akan saya bawa pulang,” ujar Rega.
Humas Pemda DIY