Home / Politik / Marak Perundungan Anak, PKS Ajak Orang Tua Lakukan Dialog Sehat dan Hadir Sepenuh Hati Bagi Anak

Marak Perundungan Anak, PKS Ajak Orang Tua Lakukan Dialog Sehat dan Hadir Sepenuh Hati Bagi Anak

    
Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Keluarga, Eko Yuliarti Siroj.
Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Keluarga, Eko Yuliarti Siroj.

JAKARTA,REDAKSI17.COM— Insiden ledakan yang terjadi di SMA 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat (7/11) kini memasuki babak baru. Pada Selasa (11/11) polisi telah menetapkan satu siswa sekolah tersebut sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH). Penetapan ini berdasarkan hasil pemeriksaan sejumlah saksi dan temuan bukti yang dimiliki kepolisian. Polisi juga menegaskan bahwa pelaku merupakan pribadi yang tertutup dan jarang bergaul dengan orang lain. Dipastikan ia merupakan korban perundungan (bullying) yang menyimpan dendam dan kemarahan kepada teman-temannya pelaku perundungan. Pelaku juga berasal dari keluarga dengan orang tua bercerai dan melakukan tindak kekerasan karena terinspirasi dari tayangan/game online.

Menanggapi peristiwa ini, Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Keluarga, Eko Yuliarti Siroj, menyampaikan bahwa peristiwa ini tidak berdiri sendiri. Rangkaian efek domino antara perundungan (bullying), disfungsi keluarga, dan kesepian anak merupakan masalah sosial serius yang membutuhkan pendekatan lintas sektor yaitu pendidikan, keluarga, dan kebijakan sosial.

“Setidaknya ada beberapa catatan serius yang menjadi alarm bagi para orang tua dan keluarga. Bullying bukan hanya persoalan antar teman sebaya di sekolah. Ini adalah pintu masuk dari krisis psikologis yang lebih dalam. Ketika anak korban bullying pulang ke rumah dan tidak menemukan pelukan hangat atau komunikasi yang sehat dengan orang tua, masalah akan berubah menjadi kemarahan dan kesunyian yang berbahaya,” ujar Eko Yuliarti.

Perempuan pemerhati keluarga ini menegaskan bahwa interaksi positif orang tua-anak dapat menurunkan tingkat stress pada anak. Ia menyampaikan satu penelitian yang dipublish BMC Public Health (2025) menunjukkan bahwa hubungan keluarga yang positif dan keterlibatan orang tua secara aktif dalam komunikasi dengan anak dapat mengurangi dampak negatif bullying terhadap kesehatan mental anak.

“Kesepian adalah bentuk kehilangan hubungan. Dan jika keluarga tidak menjadi tempat pemulihan, anak mencari pelarian dalam bentuk lain. Kesepian dan kesendirian memicu munculnya perilaku agresif, kenakalan remaja, bahkan tindakan kriminal,” tambah Eko.

Menurut Eko, dinamika keluarga berfungsi sebagai faktor protektif maupun faktor risiko bagi perkembangan psikososial anak. Beberapa penelitian tentang kriminalitas remaja menunjukkan bahwa riwayat bullying, kesepian kronis, dan disfungsi keluarga sering menjadi kombinasi penyebab munculnya perilaku anti sosial dan kekerasan. Eko menegaskan, fenomena ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi indikator lemahnya ketahanan keluarga dan minimnya kepedulian sosial.

“Keluarga yang hangat dan religius dapat menjadi benteng bagi anak korban bullying. Namun ketika rumah menjadi sumber stres baru, anak kehilangan benteng moral dan emosionalnya. Mencegah bullying dan kekerasan pada anak tidak bisa dilakukan hanya bersandar pada aturan sekolah, tetapi dengan memulihkan komunikasi dan menumbuhkan kasih sayang di rumah. Keluarga adalah imunisasi sosial dan benteng moral yang paling kuat,” ujarnya.

Sebagai family educator, Eko Yuliarti mengajak pihak sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah untuk bekerja sama dalam memulihkan korban bullying melalui pendekatan keluarga. Program konseling terpadu yang melibatkan orang tua, guru, dan tenaga psikolog perlu diperkuat agar anak tidak terjebak dalam siklus kesepian dan agresi. Selain itu, Eko mendorong agar pembangunan ketahanan keluarga menjadi bagian dari kebijakan publik dalam penanganan kekerasan anak dan remaja.

“Kita perlu memastikan bahwa setiap anak korban bullying menemukan tempat pulang yang menguatkan, bukan yang menambah rapuh. Orang tua dan keluarga besar perlu peduli, membuka ruang dialog yang sehat, dan hadir sepenuh hati bagi anak. Jangan sampai anak merasa sendiri, tidak memiliki tempat berbagi yang bisa menguatkan. Dengan peran keluarga yang kuat diharapkan anak terhindar dari krisis,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *