Yogyakarta (03/06/2025) REDAKSI17.COM – Abhinaya Karya, pameran temporer agenda rutin tahunan persembahan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY dan Museum Sonobudoyo kembali digelar di tahun 2025 ini, dengan mengangkat tema ‘Pasar: A Glimpse into The Past, Looking Forward to The Future’. Pameran tersebut diselenggarakan mulai 3 Juni hingga 13 Juli 2025 di Gedung Saraswati, Museum Sonobudoyo dan telah resmi dibuka pada Selasa (03/06) sore, oleh Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi.
Pada sambutannya, Dian mengungkapkan, Abhinaya Karya 2025 melalui tema yang diangkat kali ini, mengajak seluruh masyarakat untuk menelusuri, melihat pasar sebagai sebuah ruang yang dimaknai dari berbagai sudut pandang. Berjalan-jalan, mengikuti perjalanan sejarah pasar, mulai dari zaman dahulu sampai dengan era modern saat ini, lewat berbagai koleksi benda-benda museum maupun instalasi seni penuh kreativitas yang ditampilkan.
“Jadi lewat pameran tematik kali ini, kami mencoba mengajak masyarakat untuk mengetahui perjalanan sejarah pasar mulai dari pertamanya dulu pasar kayak apa, sampai dengan pasar saat ini. Di pameran ini akan mengenal kembali, bagaimana sistem pasar masa lampau dengan sistem barter, kemudian terjadi pengenalan atau perputaran jenis-jenis mata uang, hingga transformasinya di era digital saat ini,” tutur Dian di Gedung Saraswati, Museum Sonobudoyo.
Pun, lebih dari itu, disebutkan Dian bahwa pasar sebenarnya tak hanya sekadar menjadi tempat pertukaran barang dan uang. Pasar juga menjadi ruang interaksi sosial budaya yang dinamis, tempat di mana tumbuhnya beragam cerita kehidupan. Oleh karena itu, dalam pameran ini disajikan perjalanan sejarah pasar, mulai dari bagaimana pasar pada masa kerajaan; pasar dan bayang-bayang kolonialisme; pasar sebuah ruang multikultural; hingga transformasi perdagangan barang dan jasa masa kini, di mana saham dan investasi menjadi salah satu inovasi yang lahir dari perkembangan ‘pasar’ di era modern.
“Kami berharap bahwa pameran ini mampu menguatkan kembali memori kolektif kita terhadap pasar. Selain itu, makna yang paling penting adalah kami berharap lewat pameran ini kita bisa menangkap hikmah bagaimana kita bisa menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi. Juga bagaimana kemudian kita memiliki kontrol atas pengelolaan keuangan kita, itu pun menjadi bagian terpenting. Sehingga dalam rangkaian pameran ini, akan ada workshop terkait dengan bagaimana bijak mengelola uang,” jelas Dian.
Senada dengan Dian, Kepala Museum Sonobudoyo, Ery Sustiyadi menyampaikan, pasar adalah salah satu wujud nyata dari kebudayaan yang terus bergerak. Pasar tidak hanya menjadi tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi, tetapi juga menjadi cermin dinamika sosial dan budaya suatu masyarakat.
“Di sanalah (pasar) kita bisa menyaksikan jejak tradisi, perubahan gaya hidup hingga lahirnya inovasi-inovasi baru. Tema ini dipilih karena pasar dianggap sebagai salah satu ruang publik yang amat penting di sepanjang masa. Pasar adalah tempat terjadinya berbagai peristiwa ekonomi, juga tempat untuk bersosialisasi, mencari hiburan dan informasi,” terang Ery.
Melihat ke belakang, dikatakan Ery, proses terbentuknya pasar dan sistem yang diterapkan dalam membangun perekonomian pun sangatlah menarik. “Kita akan mengetahui bahwa pasar dulu dibuka berdasarkan waktu dan hari tertentu saja, menggunakan alat tukar yang saat ini dianggap tidak lazim, serta tak jarang bergantung pada musim,” ujar Ery.
Wajah pasar juga mulai menampakkan perubahan, tatkala pemerintah kolonial melalui cara berpikirnya yang lebih modern membangun pasar dengan arsitektur yang lebih maju, lebih kokoh, dan permanen. Dengan demikian, laju perekonomian masyarakat akan berdampak semakin lebih baik.
“Di masa kini, perkembangan dan perubahan dunia menggiring manusia pada pola-pola baru dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di era digital seperti sekarang, dunia pasar telah mengalami perubahan besar. Bila dahulu transaksi harus dilakukan secara fisik dengan menukar barang atau menggunakan mata uang, kini transaksi dapat dilakukan melalui cara non tunai dengan memanfaatkan sistem pembayaran digital, seperti e-wallet, kartu kredit, dan aplikasi pembayaran lainnya. Sayangnya, kemudahan-kemudahan ini dapat memberikan dampak negatif apabila kita kurang bijak dalam menggunakannya,” urai Ery.
Salah satunya, seperti generasi z yang dinilai mulai banyak menyentuh dunia persahaman lantaran FOMO, tergiur dengan investasi yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih banyak hasilnya. Demikian pula dengan judol yang sekarang menjadi salah satu permasahan yang memerlukan banyak edukasi.
“Hal-hal itu perlu diedukasi bagaimana caranya melakukan investasi secara sehat. Oleh karena itu, kita menggandeng beberapa lembaga-lembaga di bidang keuangan, seperti OJK, Bank Indonesia, kemudian Bursa Efek Indonesia dalam pameran ini, dengan harapan betul-betul nyata dapat membantu menghadapi masalah-masalah yang ada saat ini. Inilah saatnya museum memberikan peran nyata bagaimana memberikan edukasi kepada masyarakat sehingga mereka bisa lebih bijak lagi dalam menggunakan uang,” ucap Ery.
Di poin tersebutlah, pihak Ery merasa harus hadir mewujudkan tugas dan fungsi museum sebagai sebuah lembaga yang melakukan preservasi, edukasi, dan juga publikasi terhadap masyarakat, yang pada kali ini khususnya terkait edukasi sektor keuangan. Dalam pameran ini kemudian dihadirkan, booth dari Bursa Efek Indonesia yang akan mendampingi untuk mengedukasi masyarakat terkait dunia saham.
Adapun dalam pameran ini, salah satu koleksi museum yang cukup menarik perhatian adalah Real Batu Sumenep, Perak/Silver Koleksi Pinjaman Museum Ranggawarsita. Kadipaten Sumenep merupakan Kerajaan Islam di Pulau Madura yang berkembang pada 1269-1883. Kadipaten ini telah menggunakan dan mengedarkan mata uang asing berbahan dasar perak, yakni real de a ocho (uang perak delapanan atau perak dolar Spanyol) pada masa pemerintahan Sultan Paku Nataningrat (1812-1854).
Uang tersebut bertuliskan aksara Arab “Sumanap” atau “Sumanaf” sebagai tanda pengesahannya. Real Sumenep ini pun memiliki bentuk tidak beraturan, dengan ciri khas motif depan menggunakan tanda Salib Flory dengan ukiran singa dan bagian belakangnya terdapat lambang Spanyol pada masa Uni Iberia.
Selain itu, ada pula Kain Patola/Cinde yang merupakan komoditas India. Patola merupakan kain tenun ikat ganda asal Gujarat, India yang menjadi salah satu komoditas perdagangan penting di wilayah Nusantara sejak abad ke-13.
Di Jawa, kain mewah ini lebih dikenal dengan sebutan cinde. Kain patola/cinde umumnya berupa motif geometris yang rumit, seperti tumpal (segitiga) dan bunga yang dibuat menggunakan teknik tenun yang presisi. Selain indah, motif tersebut melambangkan kesuburan, perlindungan, dan status sosial.
Masyarakat dapat mengunjungi Pameran Temporer Abhinaya Karya 2025 ini mulai pukul 08.00-21.00 WIB (Senin tutup). Harga tiket pameran ini untuk anak-anak, yakni Rp5.000/orang, dewasa Rp10.000/orang, dan turis mancanegara Rp20.000/orang. Harge tiket tersebut sudah termasuk masuk ke Museum Sonobudoyo.
Humas Pemda DIY