Home / Daerah / Motif Batik Awisan Dalem Keraton Yogyakarta

Motif Batik Awisan Dalem Keraton Yogyakarta

Yogyakarta (09/03/2025) REDAKSI17.COM – Batik menjadi salah satu dari ratusan kekayaan budaya, hasil kesenian bernilai tinggi yang dimiliki Indonesia. Setiap motif yang tertuang bahkan memiliki beragam makna filosofi hidup.

Di Jawa, batik mulai dikembangkan pada masa Kerajaan Mataram, seperti batik tradisional yang terkenal dengan pewarnaan alamnya. Biasanya batik ini diwarnai menggunakan tumbuhan mengkudu, soga, soda abu, bahkan tanah lumpur.

Sementara, bagi Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, batik menjadi bahan pakaian para raja dan keluarganya. Pada kala itu, batik dibuat oleh para putri keraton dan juga pembatik-pembatik ahli yang hidup di lingkungan keraton. Selain bagian dari busana, batik juga bertindak sebagai presentasi sosial dan kedudukan kebangsawanan.

Seiring berkembangnya zaman, batik pun menjadi salah satu komoditi yang diperdagangkan dan dapat dipakai oleh kalangan masyarakat umum. Namun, hingga kini terdapat beberapa jenis motif batik yang hanya dipakai di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta saja atau yang dikenal dengan istilah motif awisan dalem.

Batik larangan Keraton Yogyakarta atau disebut Awisan Dalem merupakan motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya. Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik, menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta.

Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya. Oleh karena itu, beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan. Beberapa jenis motif batik yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain, yaitu Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Merujuk informasi dari Keraton Yogyakarta, setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1785. Sementara, saat masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung.

Berbicara mengenai motif huk, motif tersebut terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda. Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak sentosa, tumbuhan melambangkan kemakmuran, sedangkan sawat adalah ketabahan hati. Motif ini dipakai sebagai simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya. Motif ini pun hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

Terkait motif kawung, motif ini merupakan pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat lima pancer. Ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.

Pendapat lain mengatakan, kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar. Bunga teratai sendiri digunakan sebagai lambang kesucian. Motif kawung juga sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, buah pohon enau atau aren yang sangat bermanfaat bagi manusia. Untuk itu pemakai motif ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya. Motif ini boleh dipakai oleh para Sentana Dalem.

Humas Pemda DIY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *