Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Pemerintah Kota Yogyakarta menetapkan kebijakan tidak ada lagi sampah organik yang dibuang ke depo mulai Januari 2026. Kebijakan ini merupakan bagian dari strategi pengurangan sampah dari sumbernya melalui pengelolaan sampah berbasis wilayah dan partisipasi masyarakat.
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menjelaskan sampah organik sejatinya dapat dikelola tanpa harus dibawa ke depo. Ia membagi sampah organik menjadi dua kategori, yakni organik basah dan organik kering, masing-masing telah disiapkan mekanisme pengelolaannya.
“Sampah organik itu bisa dikelola, tidak harus dibawa ke depo. Organik basah seperti sisa makanan dikumpulkan di ember dan dijemput penggerobak. Sedangkan organik kering dikumpulkan di titik kumpul tiap kelurahan ada 45, lalu dijemput oleh Dinas Lingkungan Hidup,” ujar Hasto saat ditemui Senin (29/12/2025).
Terkait pengawasan larangan pembuangan sampah organik ke depo, Hasto menegaskan pengendalian dilakukan melalui juru pilah sampah (Jumilah) di tiap kelurahan. Petugas diminta memastikan tidak ada sampah organik basah maupun kering yang dibawa ke depo.
“Outlet pengelolaannya sudah ada. Organik kering bisa dibawa ke kelurahan, organik basah menggunakan ember. Kalau tidak bisa dijual sendiri, kita bantu jualkan. Selain itu ada biopori, kalau belum punya kita bikinkan. Jadi ada tiga alternatif selain ke depo, ini sekaligus mengurangi yang masuk depo,” tegasnya.
Menurut Hasto, kebijakan ini mulai diterapkan secara bertahap sebagai masa transisi pada tahun 2026. Pemerintah Kota Yogyakarta memastikan adanya pendampingan dan fasilitasi agar masyarakat dapat menyesuaikan diri.

Secara terpisah, Mantri Pamong Praja Kemantren Pakualaman, Saptohadi, mengungkapkan wilayahnya telah menjadi pilot project penanganan sampah sejak Februari 2025. Saat itu, potensi sampah di wilayah Pakualaman mencapai sekitar 6 ton per hari.
“Melalui kerja sama lintas pihak, kami berhasil mereduksi sampah hingga 50 persen. Saat ini pengangkutan dilakukan langsung oleh DLH lima hari dalam seminggu dan langsung ke TPS 3R Nitikan. Dari 6 ton per hari, sekarang tinggal sekitar 1,2 ton per hari untuk dua kelurahan, Gunungketur dan Purwokinanti,” jelasnya.
Saptohadi menegaskan, Pakualaman menjadi satu-satunya kemantren yang tidak lagi mengandalkan depo. Pengelolaan dilakukan dari tingkat rumah tangga dengan melibatkan transporter dan sistem pemilahan yang ketat.
Lurah Gunungketur, Sunarni, menyampaikan produksi sampah di wilayahnya saat ini rata-rata sekitar 500 kilogram per hari dan sepenuhnya merupakan sampah residu.
“Yang dibuang itu benar-benar residu. Kami optimistis ini bisa terus terjaga. Apalagi saat ini Gunungketur sudah memiliki 21 sumur biopori yang dimanfaatkan warga untuk sampah organik kering,” ujarnya.

Untuk sampah organik basah, lanjut Sunarni, warga mengumpulkannya di ember yang kemudian dijemput oleh offtaker. Dalam sehari, pengumpulan bisa mencapai 7–8 ember dan memiliki nilai ekonomi.
“Ini bisa dirupiahkan dan hasilnya dimanfaatkan kembali oleh transporter, misalnya untuk kebutuhan operasional. Kami juga sedang menjalin kerja sama dengan Polbangtan untuk pengolahan sampah organik kering agar residu semakin berkurang,” katanya.
Saat ini, edukasi kepada warga terus dilakukan melalui grup WhatsApp dan pertemuan warga. Sunarni menegaskan bahwa masa uji coba sudah dimulai, sehingga masyarakat tidak kaget ketika kebijakan diberlakukan penuh pada Januari 2026.
“Kalau sampah tidak dipilah, tidak akan diangkut. Ini juga melindungi transporter karena sekarang mereka tidak lagi bisa membuang sampah ke depo,” tegasnya.



