Jakarta,REDAKSI17.COM – Ombudsman RI menyebut persoalan mahalnya nilai bawang putih perlu dicermati lebih tinggi tinggi mendalam lagi, lantaran ada banyak faktor yang tersebut hal itu menyebabkan peningkatan tarif pada komoditas bumbu dapur tersebut.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika meyakini nilai tukar bawang putih sampai di tempat dalam Indonesia atau landed cost saat ini berada di area dalam level Rp23.000-Rp24.000 per kg. Angka ini sudah berdasarkan nilai tukar bawang putih global yang mana mana sedang tinggi, serta nilai tukar rupiah (currency rate) saat ini. Idealnya biaya bawang putih di area dalam pasaran paling mahal di dalam dalam kisaran Rp35.000 per kg. Namun saat ini harganya sudah lompat ke rata-rata Rp42.000 per kg.
“Saya berkeyakinan, saat ini biaya landed cost bawang putih sampai dalam tempat Indonesia, dengan currency rate saat ini, tak akan kurang atau tiada akan lebih tinggi tinggi dari Rp23.000-Rp24.000 per kg,” ungkap Yeka kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/4/2024).
Yeka menilai perkembangan tarif bawang putih yang dimaksud yang terjadi di dalam dalam pasaran saat ini, jika dibandingkan dengan tahun 2022 itu tambahan mahal Rp10.000-Rp15.000 per kg. Artinya, warga sudah pernah mengkonsumsi bawang putih dengan nilai tukar lebih lanjut lanjut mahal Rp10.000-Rp15.000 per kg.
Yeka pun menyebut ada ulah ‘tangan hantu’ yang mana mana bikin harga jual jual bawang putih ‘ngamuk’ saat ini.
![]() Harga bawang putih makin mahal dalam Jakarta, tembus Rp 50.000/kg. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky) |
“Kalau menurut saya, kemahalan ini sangat bukan ada wajar. Jadi seperti ada invisible hand, kemudian Ombudsman tidaklah berwenang untuk masuk ke arah situ, oleh sebab itu kelihatannya bukan persoalan maladministrasi,” tukasnya.
Yeka mengatakan, yang digunakan menjadi concern Ombudsman saat ini adalah bagaimana mengawasi pelayanan publik dalam pemberian surat izin, yakni layanan penerbitan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) oleh Kementerian Pertanian (Kementan) kemudian juga Surat Persetujuan Impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Untuk itu, dia memohonkan agar para aparatur penyelenggara negara kemudian pemerintahan, terutama dalam hal ini Kemendag juga Kementan agar tegak lurus terhadap peraturan yang ada.
“Penuhi semata itu (regulasinya),” tegasnya.
Lebih lanjut, khusus terkait dengan RIPH, Yeka mengusulkan agar layanan ini sebaiknya dipindahkan ke Badan Pangan Nasional (Bapanas) saja. Bukan tanpa sebab, hal ini akibat Bapanas telah terjadi lama mereduksi peran juga juga tugas pada beberapa Direktorat kementerian teknis, seperti Kementan kemudian Kemendag.
“Jadi, Ombudsman melihat bahwa kalau memang RIPH ini mau tetap diterapkan, maka seyogyanya yang digunakan dimaksud mengeluarkan itu tak lagi Kementan, tetapi Bapanas oleh sebab itu Bapanas yang itu miliki tupoksi (tugas pokok lalu juga fungsi) untuk penyediaan pangan, Bapanas juga memiliki tupoksi yang tersebut terkait untuk keamanan pangan, juga juga terlebih khusus bawang putih merupakan komoditas yang mana mana disebutkan dalam dalam undang-undang itu memang diatur oleh Bapanas,” jelasnya.
Yeka menilai apabila regulasi RIPH tetap ingin dilaksanakan, maka harus bermuara dalam dalam Bapanas. Hal ini sejalan lantaran Ombudsman RI melihat ada prospek koruptif dalam penerbitan RIPH. Ia juga mengajukan permohonan agar proses permohonan surat izin impor, baik RIPH maupun SPI itu dijalani secara transparan serta akuntabel.
“Kalau menurut Ombudsman, kami sangat mengupayakan rencana stranas PK yang dimaksud itu digagas KPK serta juga beberapa kementerian, bahwa khususnya untuk bawang putih nanti tidaklah ada perlu lagi pakai RIPH, tapi pakai neraca komoditas. Sehingga nanti tinggal izinnya itu izin impor saja,” kata Yeka.
“Kalau izin impornya sudah terbuka serta transparan, saya berharap mudah-mudahan nilai bawang putih mampu turun kembali normal,” pungkasnya.