Jakarta,REDAKSI17.COM – Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani memberi bukti, perusahaan jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, juga mandi uap/spa berakhir akibat ketentuan tarif pajak minimal 40%-75%.
Ketentuan tarif pajak itu ditetapkan dalam Pasal 58 ayat 2 Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat lalu Pemerintahan Daerah (UU HKPD). GIPI pun sudah mengajukan judicial review atau uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal itu Rabu (7/2/2024).
“Kerugian itu bukan dihitung rupiah lagi tapi tutup. Ini bubar sudah pasti, stop mereka, yang dimaksud dimaksud kami khawatirkan akan timbul praktik-praktik ilegal, menyuap oknum pemerintah, aparat, untuk dia survive,” kata Hariyadi pada Gedung MK, Jakarta, Rabu (7/2/2024).
Hariyadi pun memberi bukti bahwa ketentuan pajak dalam Pasal 58 ayat 2 UU HKPD mematikan jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, juga mandi uap/spa. Ia mendasarinya pada data 177 daerah dari total 436 daerah yang dimaksud dimaksud telah terjadi lama menetapkan tarif itu, sesuai catatan Kementerian Keuangan.
Tarif itu ditetapkan sebelumnya oleh 177 daerah menggunakan UU Pajak Daerah lalu juga Retribusi Daerah (PDRD). Dalam Pasal 45 ayat 2 UU PDRD pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, lalu mandi uap/spa ditetapkan pajaknya maksimal 75% meskipun tak ada batas minimum 40% seperti UU HKPD.
Daerah yang mana digunakan telah dilakukan dijalani menerapkan tarif 40%-75% itu diantaranya adalah Kabupaten Siak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Lebak, Kabupaten Grobokan, serta Kota Tual.
Menurut Hariyadi, dari 36 asosiasi yang tersebut dinaungi GIPI, tak ada ada satupun jasa hiburan khusus seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, lalu mandi uap/spa yang dimaksud dimaksud hidup di area dalam daerah yang mana dimaksud menerapkan tarif pajak 40%-75%. Maka, ketika ditetapkan secara umum dengan batasan minimum 40% dalam UU HKPD, dipastikannta tak akan ada lagi jenis jasa hiburan itu pada tiap daerah.
“Saya ambil contoh di tempat tempat Belitung Timur, pada dalam sana diskotek 75%, tapi memang enggak ada barangnya, jadi memang kalau sudah begitu memang enggak ada usahanya yang dimaksud mana mau bayar segitu,” tegas Hariyadi.
Oleh sebab itu, Hariyadi menekankan, jika jasa hiburan bertumbangan dengan penerapan tarif pajak 40%-75%, ujungnya yang dimaksud hal tersebut terdampak adalah para tenaga kerja di dalam tempat dalamnya yang mana dimaksud akan kehilangan pekerjaan, padahal jasa hiburan itu tak pernah mensyaratkan kualifikasi khusus dalam penyerapan tenaga kerja.
“Jasa hiburan salah dia apa, kalau salah cabut aja izinnya kan sudah pernah juga Alexis itu, tapi jangan instrumen pajak dimainkan dikarenakan sektor ini serapan tenaga kerjanya tinggi enggak butuh kualifikasi tinggi, betul-betul banyak serap orang,” tegas Hariyadi.
Oleh sebab itu, ia berharap supaya MK mengabulkan gugatan terhadap Pasal 58 ayat 2 yang digunakan dimaksud diajukan GIPI. Menurutnya tarif pajak yang digunakan dimaksud sesuai untuk jasa hiburan khusus itu maksimal 10% sebagaimana penerapan tarif pajak hiburan khusus di area dalam berbagai daerah selama ini menggunakan UU PDRD.
Ia pun mengatakan, GIPI akan menyebabkan surat edaran supaya hiburan khusus yang mana digunakan terdampak tarif pajak Pasal 58 ayat 2 UU HKPD membayar pajak sesuai ketentuan lama dalam daerah selama ini, supaya bukan ada terhentikan ketika ditagihkan tarif pajak itu sejak Januari 2024 ini.
“Karena belum ada keputusan, kita buat surat edaran, kita minta semua anggota kita bayar tarif lama dulu tapi kalau putusan MK ini kita harapkan mampu dikabulkan tarif baru maksimal 10% sebab itu yang mana layak bisa jadi sekadar diterima,” ungkap Hariyadi.