Jakarta,REDAKSI17.COM – Junta yang mana dimaksud berkuasa dalam Myanmar telah dilakukan terjadi kehilangan kendali atas wilayah yang tersebut hal tersebut luas, termasuk akses ke sebagian besar perbatasan internasionalnya. Hal ini memungkinkan kelompok etnis bersenjata untuk memperluas lalu mengonsolidasikan wilayah yang digunakan itu merek kendalikan.
Kondisi itu terungkap melalui dua laporan yang menilai konflik itu pada hari Kamis (30/5/2024).
Negara berpenduduk 55 jt jiwa ini berada dalam kekacauan sejak Februari 2021 ketika militer menggulingkan pemerintahan terpilih yang tersebut dipimpin oleh peraih Nobel Aung San Suu Kyi, yang mana memicu berunjuk rasa luas.
Demonstrasi jalanan, yang digunakan ditanggapi dengan tindakan keras yang dimaksud digunakan brutal, berubah menjadi gerakan perlawanan bersenjata yang yang dikombinasikan dengan banyak tentara pemberontak etnis Myanmar untuk menimbulkan tantangan paling signifikan bagi militer dalam beberapa dekade.
Menurut Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar (SAC-M), junta tak mempunyai kendali yang yang disebut efektif atas Myanmar, sebab kehilangan kewenangan penuh atas kota-kota yang digunakan mana mencakup 86% wilayah negara yang dimaksud merupakan rumah bagi 67% penduduknya.
“Junta militer tak cukup mengontrol wilayah Myanmar untuk menjalankan tugas inti negara,” SAC-M, sebuah kelompok ahli internasional independen yang digunakan dibentuk setelah kudeta untuk menggalang kembalinya demokrasi, mengatakan dalam sebuah pengarahan.
“Junta telah dilakukan terjadi meninggalkan wilayah yang tersebut hal itu luas serta terpaksa bersikap defensif di area tempat sebagian besar wilayah di area tempat mana junta masih ada.”
Operasi 1027, sebuah serangan terkoordinasi pada bulan Oktober lalu yang digunakan dimaksud dipimpin oleh tiga tentara etnis, menandai momen penting yang digunakan mengungkap melemahnya militer, yang hal tersebut menyerahkan sebagian besar wilayah perbatasan pada utara Myanmar.
Serangkaian serangan oleh tentara etnis sejak itu sudah pernah menyokong junta keluar dari wilayah pinggiran mulai dari perbatasan negara dengan Thailand hingga wilayah pesisir dalam sepanjang Teluk Benggala.
“Kelompok etnis bersenjata yang digunakan yang sudah terjadi mencapai banyak kemenangan militer ini sedang mengkonsolidasikan kendali atas wilayah tanah air merek yang mana dimaksud diperluas, lalu banyak dari dia sedang dalam proses membentuk negara otonom,” kata lembaga nirlaba Crisis Group dalam sebuah laporan.
Meningkatnya kerugian yang digunakan dialami militer lalu meningkatnya kekecewaan pada area kalangan elit pada ibu kota Naypyidaw sudah pernah lama memproduksi masa depan pemimpin junta, Min Aung Hlaing, berada dalam keraguan serius, meskipun ia sudah lama memenuhi jajaran senior dengan perwira yang mana digunakan setia kepadanya, menurut Crisis Group.
“Dia mungkin dapat hanya mempertahankan pekerjaannya, tapi mengingat tingkat ketidakpuasannya, dia tetap bisa saja jadi menghadapi rencana untuk memecatnya,” katanya.
Dengan hilangnya kendali junta atas hampir seluruh perbatasan negara juga kemungkinan perluasan pemerintahan non-negara, negara-negara tetangga, blok regional, lalu komunitas internasional harus memperluas keterlibatan merek dengan kelompok perlawanan, kata kedua laporan tersebut.
Adapun pengungsi internal dalam Myanmar sudah pernah terjadi mencapai rekor tertinggi, dengan tambahan besar dari tiga jt orang terpaksa meninggalkan rumah merekan dikarenakan meningkatnya konflik, menurut badan-badan PBB.
“Komunitas internasional harus memahami kenyataan ini kemudian bekerja secara langsung dengan otoritas perlawanan serta rakyat sipil untuk memberikan bantuan lalu bantuan mendesak kepada rakyat Myanmar,” kata Yanghee Lee, salah satu anggota pendiri SAC-M.
