Yogyakarta (23/01/2025) REDAKSI17.COM – Menutup secara resmi Pameran Temporer Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengapresiasi dan memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah mendukung suksesnya penyelenggaraan pameran tersebut. Pameran ini menjadi manifestasi Keraton Yogyakarta untuk menggugah kesadaran, menegaskan bahwa kesetaraan gender bukan hanya cita-cita dalam tajuk modernitas.
Sri Sultan menyampaikan hal demikian pada penutupan Pameran Parama Iswari hari pertama yang digelar Rabu (22/01) malam di Kagungan Dalem Pagelaran Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Penutupan pameran temporer tersebut diselenggarakan selama 3 hari, pada tanggal 22, 24, dan 25 Januari 2024 dengan menampilkan 3 tari srimpi mahakarya Sultan yang bertakhta di Yogyakarta.
“Lebih jauh, pameran Parama Iswari ini merefleksikan gema kearifan kesetaraan yang telah terpatri dalam sejarah, budaya, dan kearifan lokal. Melalui narasi yang tersurat, dan pesan tersirat yang teraba oleh indera, kita diajak untuk merenungkan kembali, peran perempuan dalam membangun peradaban. Bahwasanya, perempuan adalah sosok utama yang tak hanya mendampingi, tetapi juga menguatkan,” tutur Sri Sultan.
Sri Sultan mengungkapkan, ketika perempuan dihormati, sesungguhnya peradaban sedang menata diri, menegaskan arah dan tujuannya, yakni menuju tatanan yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan. Kraton pun telah berupaya menghantarkan gambaran bahwa penghormatan adalah jalan peradaban.
“Harapannya, gambaran ini menjadi cahaya pelita yang turut menerangi jalan semua komponen bangsa, mulai dari ranah kebijakan, sistem sosial masyarakat, relung-relung keluarga, hingga ruang-ruang pribadi. Tidak harus dengan langkah-langkah besar, melainkan melalui gerak-gerik kecil yang bermakna. Semoga spirit Parama Iswari senantiasa menerangi bumi Nusantara. Terima kasih dan sampai jumpa di perhelatan-perhelatan berikutnya,” ucap Sri Sultan.
Adapun pameran temporer Parama Iswari yang diselenggarakan oleh Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya telah digelar mulai 6 Oktober 2024 lalu dan akan berakhir pada tanggal 25 Januari 2025 mendatang. Sebagaimana namanya, Prameswari (parama-iswari), dalam kamus bahasa Jawa berarti langkung luhuring pawestri atau lebih dari perempuan utama.
Prameswari adalah sebuah istilah yang disematkan pada perempuan utama dalam tatanan kerajaan Jawa, dimana kedudukan prameswari dan ketokohan perempuan yang melekat acap kali berafinitas sebagai sakti, menjadi jenama yang mengikat pada raja sekaligus kuasa yang melampaui kadarnya.
Berangkat dari pendekatan kronoligi, narasi Prameswari sebagai perempuan yang melintas sejarah dirangkap dalam satu situasi budaya, impresi dari kiprah prameswari sebagai bagian dari militer, pemrakarsa budaya, hingga aktivis sosial, kemudian dikumpulkan dan dipadu dalam satu ruang pamer. Membawa intensi agar perempuan mampu membangun definisi ulang tentang keberadaannya secara adaptif, dan menjelma sesuai relevansi hari ini dalam tema ‘Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta’.
Penutupan pameran ini yang dilangsungkan pada tanggal 22, 24, dan 25 Januari 2025 secara spesial mempersembahkan 3 tari srimpi mahakarya Sultan yang bertahta di Yogyakarta. Tiga srimpi tersebut, yaitu Srimpi Wiraga Pariskara yang ditampilkan pada 22 Januari 2025, Srimpi Lobong pada 24 Januari 2025, dan Srimpi Pramugari pada 25 Januari 2025. Srimpi tersebut menghadirkan penggambaran terkait ketokohan perempuan dalam perjuangan hingga peranannya yang begitu vital dalam upacara adat, sehingga dinilai tepat menjadi penutup penyelenggaraan pameran Parama Iswari.
Pada penutupan Pameran Parama Iswari hari pertama tersebut, tampak hadir membersamai Sri Sultan menyaksikan penampilan Srimpi Wiraga Pariskara, yakni Menteri Pariwisata RI, Widiyanti Putri Wardhana, GKR Bendara, KPH Notonegoro, dan jajaran Forkopimda DIY. Suasana pertunjukan pun berlangsung penuh khidmat yang juga disaksikan langsung oleh ratusan masyarakat luas.
Semenjak bertakhta pada 7 Maret 1989, Srimpi Wiraga Pariskara merupakan karya tari srimpi yasan dalem pertama dari Sri Sultan Hamengku Buwono X yang pertama kali dipentaskan pada Maret 2024 lalu, dalam International Symposium on Javanese Culture 2024 dengan tema Traditional Ceremonies in The Sultanate of Yogyakarta.
Sesuai dengan tema simposium tersebut, maka sumber inspirasi artistik tari srimpi Wiraga Pariskara ini adalah upacara adat daur hidup manusia. Srimpi Wiraga Pariskara adalah transformasi bentuk upacara tetesan di Keraton Yogyakarta dalam bentuk komposisi tari putri yang dibawakan oleh 4 orang penari dan 2 orang anak gadis kecil. Dalam tradisi di istana, komposisi 4 orang penari putri dengan ketentuan-ketentuan struktur dan karakternya disebut srimpi.
Tetesan merupakan upacara adat yang menandai kesiapan seorang gadis kecil memasuki masa kanak-kanak. Dia bukan lagi seorang bayi, namun belum juga dewasa secara fisik maupun psikisnya. Pelaksanaan upacaranya dilakukan dengan cara membersihkan diri dan pemberian jamu (loloh) sebagai simbol dan pengenalan akan belajar merawat disi secara fisik dan psikis.
Proses upacara Tetesan tersebut ditransformasikan dalam rangkaian gerak tari yang dibingkai oleh ritme dan ruang, sehingga membentuk struktur tari srimpi. Namun demikian, pilihan motif gerak dan rangkaiannya memungkinkan untuk mengenali upacara Tetesan yang sesungguhnya, di antaranya gerak konyohan, lo lohan, dan muryani busana.
Dalam pementasannya, Srimpi Wiraga Pariskara ini menghadirkan krobongan yang biasa digunakan dalam upacara adat Tetesan sebagai setting. Selain itu digunakan seperangkat alat minum jamu (lo lohan) yang identik dengan upacara Tetesan sebagai properti tari.
Adapun untuk busana, pada Penutupan Pameran Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta kali ini, empat penari putri dewasa yang berperan sebagai penganthi menggunakan busana penganthi berwarna hitam polos. Busana penganthi dalam tarian ini sama persis dengan penganthi asli dalam upacara Tetesan. Modifikasi busana terjadi pada udhet yang diganti menjadi sondher (kain sampur).
Sementara 2 gadis cilik dalam Srimpi Wiraga Pariskara mengenakan 2 busana berbeda. Gadis pertama mengunakan busana siraman berupa nyamping sabuk wala bermotif Sidomukti dengan lawe (kain putih), menggambarkan anak perempuan yang sedang menjalani bagian awal upacara Tetesan. Sedang gadis kedua, menggunakan busana sabuk wala dengan kain cindhe, menggambarkan anak perempuan yang tengah menjalani upacara Tetesan bagian akhir.
Humas Pemda DIY