Jakarta,REDAKSI17.COM – Laporan Future Health Index (FHI) 2025 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang paling optimis dalam mengadopsi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di sektor kesehatan.
Disebutkan, sebanyak 84% tenaga kesehatan dan 74% pasien meyakini bahwa AI dapat meningkatkan kualitas layanan, memperluas akses, mempercepat deteksi dini penyakit, dan membuat sistem kesehatan lebih efisien.
Menyoroti hal ini, Partai Perindo menyambut baik langkah menuju transformasi digitalisasi layanan kesehatan dan mengapresiasi optimisme terhadap pemanfaatan AI. Namun, Ketua DPP Partai Perindo Bidang Kesehatan Masyarakat Sri Gusni Febriasari mengingatkan optimisme ini masih menghadapi realitas di lapangan.
Berbagai hambatan struktural seperti alur kerja yang belum terintegrasi, fragmentasi data antar fasilitas, serta keterbatasan sumber daya digital membuat potensi AI belum sepenuhnya bisa diandalkan untuk menjawab tantangan sistem kesehatan secara menyeluruh.
“Optimisme terhadap AI itu penting, tapi jangan sampai kita terjebak berpikir bahwa teknologi bisa menyelesaikan semuanya. Masalah dasar seperti ketimpangan distribusi dokter, fasilitas yang tidak merata, dan lemahnya literasi digital masyarakat tidak bisa diatasi hanya dengan teknologi dan algoritma,” jelas Sri Gusni di Jakarta (28/7/2025).
Meskipun optimisme menyeruak terhadap pemanfaatan kecerdasan buatan AI, dia mengingatkan terdapat beberapa risiko yang harus diantisipasi, salah satunya adalah pada bias algoritma yang mengancam kelompok rentan.
AI yang dilatih pada data yang tidak representatif dapat menghasilkan rekomendasi yang merugikan pasien dari kelompok miskin, pedesaan, perempuan, atau minoritas etnis. Risiko lain yang harus diantisipasi yaitu data berkualitas rendah (Diagnosis yang salah), serta Kesenjangan digital dan infrastruktur.
“Dalam konteks kesehatan, keadilan bukan sekedar akses, tapi juga soal kualitas dan kesetaraan hasil pelayanan. Keadilan digital harus menjadi pondasi utama dalam adopsi AI di sektor kesehatan. Kita tidak boleh membiarkan teknologi menjadi alat diskriminasi baru dalam sistem pelayanan publik,” tegas alumni S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.
“Di sisi lain, banyak fasilitas kesehatan kita, terutama di daerah 3T – tertinggal, terdepan, dan terluar, belum memiliki data medis yang lengkap dan terstruktur. Kalau AI dipaksa berjalan dengan data yang buruk, maka hasil diagnosisnya bisa menyesatkan dan membahayakan pasien,” tambah Sri Gusni.
Perlindungan Data
Dalam era digitalisasi layanan kesehatan, persoalan perlindungan data pribadi yang semakin krusial juga disoroti Partai Perindo. Kasus kebocoran data, seperti yang ditunjukkan melalui aplikasi Peduli Lindungi pada tahun 2025, menjadi alarm bahwa sistem perlindungan informasi sensitif di Indonesia masih memiliki banyak celah.
Meskipun regulasi terus diperkuat, kompleksitas AI dalam sektor kesehatan menghadirkan tantangan baru yang belum sepenuhnya dijawab oleh kerangka hukum saat ini.
“Kita berbicara tentang data kesehatan yang sangat sensitif. Jika sistem keamanan belum matang, maka mempercepat digitalisasi tanpa perlindungan kuat justru bisa membuka risiko penyalahgunaan dan memperlemah kepercayaan publik,” tambah Sri Gusni.
Selain itu, aspek etika medis juga menjadi perhatian utama. Keputusan klinis yang dihasilkan oleh AI tidak boleh berdiri sendiri tanpa keterlibatan tenaga medis manusia. Kepercayaan pasien terhadap dokter tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan yang bekerja berdasarkan logika algoritma.
“AI hanya alat bantu, bukan pengganti. Kecerdasan buatan tidak punya empati, tidak bisa memahami konteks sosial, dan tidak menggantikan intuisi serta tanggung jawab moral seorang dokter dalam pelayanan kesehatan. Etika medis harus tetap jadi fondasi,” tegasnya.
Tata Kelola AI & Layanan Kesehatan
Sri Gusni juga menegaskan, sebagai bagian dari komitmen Partai yang dipimpin Angela Tanoesoedibjo ini dalam mendorong sistem kesehatan yang adil, inklusif, dan modern, pihaknya menegaskan pentingnya tata kelola kecerdasan buatan (AI) yang kuat dan berpihak pada rakyat, khususnya dalam sektor kesehatan.
Pemanfaatan AI tidak boleh hanya menjadi sekadar tren teknologi global, melainkan harus menjadi alat nyata untuk memperluas akses layanan medis, mempercepat deteksi penyakit, dan mengurangi ketimpangan pelayanan—terutama di daerah tertinggal dan terpencil.
Temuan Monash University bersama The Conversation Indonesia juga menunjukkan bahwa Indonesia penting untuk segera mengembangkan sistem pembangunan tata kelola data kesehatan yang terintegrasi.
Hal ini sangat selaras dengan sistem regulasi perlindungan data pribadi, dan peningkatan kualitas data sebagai fondasi utama dalam digitalisasi layanan publik, sebagaimana telah diatur dalam UU Perlindungan Data Pribadi (2022) dan PP No. 28 Tahun 2024.
Diungkapkan oleh Sri Gusni, Partai Perindo mendorong adanya regulasi turunan yang lebih teknis dan berkeadilan sosial, agar AI tidak hanya melayani daerah dan kelompok yang sudah maju secara digital, tetapi juga menjadi solusi nyata bagi kelompok terdampak dan rentan.
Partai yang dikenal sebagai Partai Kita ini juga percaya bahwa dengan tata kelola yang tepat, AI dapat menjadi alat transformasi kesehatan rakyat, bukan hanya teknologi elit yang memperlebar jurang ketimpangan.
“Sebagai partai yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat, Partai Perindo melihat AI bukan semata teknologi, melainkan instrumen strategis untuk memperbaiki sistem kesehatan nasional, menjadikannya lebih efisien, adil, dan berkelanjutan,” tandas alumni S2 Intervensi Sosial, Psikologi Terapan UI ini.