Yogyakarta (13/05/2025) REDAKSI17.COM – Falsafah Jawa Sangkan Paraning Dumadi (daur hidup manusia), Hamemayu Hayuning Bawana (kehidupan harmonis antar manusia dan antara manusia dengan alam), dan Manunggaling Kawula Gusti (hubungan antara manusia dan Sang Pencipta serta antara pemimpin dan rakyatnya) yang melekat pada konsep tata ruang Sumbu Filosofi Yogyakarta bukan sekadar filosofis belaka. Warisan nilai-nilai luhur yang sejak lama telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Jogja tersebut, menjadi salah satu senjata ampuh DIY dalam menghadapi bencana dan konflik.
Hal tersebut disepakati bersama oleh Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono, Carik KHP Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, KMT Yudhawijaya, Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya, dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul, Agus Budiraharja dalam D’Lobby Talk Peringatan Hari Warisan Dunia 2025 yang disiarkan melalui kanal YouTube tasteof_jogja pada Selasa (13/05). Dalam diskusi ini, ke empat sosok tersebut pun sepakat bahwa komitmen bersama dalam mengatasi bencana dan konflik di DIY ini dapat dilakukan selaras dengan komitmen menjaga kelestarian Sumbu Filosofi Yogyakarta yang telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO, yakni dengan mengimplementasikan nilai-nilai falsafah Jawa yang terkandung di dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta.
Pada kesempatan ini, Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono menyoroti implementasi falsafah Hamemayu Hayuning Bawana yang bermakna kehidupan harmonis antar manusia dan antara manusia dengan alam. Yang mana, agar mampu menghadapi dan mengatasi berbagai potensi bencana dan konflik di DIY, semangat dan komitmen kebersamaan adalah hal mutlak.
“Kita sadar, hidup di Jogja itu harus living in harmony dengan bencana. Maka kita harus bersama-sama untuk penanganan bencana dan konflik ini. Bersama-sama menyusun lalu membuat rencana aksinya. Juga bersama Keraton, bersama dengan kabupaten/kota, terutama Bantul dan Pemerintah Kota Jogja, menyusun peta jalan agar warisan yang sudah diwariskan kepada kita itu dapat kita pertahankan yang muaranya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” jelas Beny.
Beny menyebutkan, Sumbu Filosofi ialah warisan terunik, sangat istimewa di dunia karena yang diwariskan adalah filosofi—filosofi tersebut, yang di dalamnya terkandung nilai yang sangat luhur. Filosofi tersebut melekat bersama Panggung Krapyak sampai ke Tugu Pal Putih sebagai penandanya.
“Kita mewarisinya (Sumbu Filosofi) sudah dengan kondisi eksisting yang sekarang kita hadapi. Mungkin akan ditemukan di beberapa warisan dunia di belahan lain itu ruang yang benar-benar kosong gitu ya. Masyarakatnya bahkan ada yang digeser, tapi kalau kita tidak. Karena ini adalah bersama. Untuk bersama lalu meningkatkan derajat bersama. Jadi komiten yang kita bangun bersama-sama dalam kerangka itu,” ungkap Beny.
Carik KHP Datu Dana Suyasa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, KMT Yudhawijaya dalam diskusi ini menyampaikan, menurutnya, selain melihat peninggalan fisik konsep tata ruang Sumbu Filosofi, seperti Panggung Krapyak di sebelah selatan, Keraton Yogyakarta, dan Tugu Pal Putih di sebelah utara, UNESCO menetapkan Sumbu Filosofi sebagai Warisan Budaya Dunia karena melihat intangible value, yakni 3 nilai falsafah Jawa dan empat karakter yang dikenal dengan sebutan watak kesatria (Nyawiji, Greget, Sengguh, Ora Mingkuh) warisan Pangeran Mangkubumi yang masih hidup di dalam masyarakat Jogja hingga saat ini.
Nyawiji berarti berkonsentrasi, greget berarti semangat, sengguh berarti rasa percaya diri, dan ora mingkuh berarti bertanggung jawab. Hidupnya nilai luhur falsafah dan watak kesatria tersebut terbukti dari mampunya DIY untuk kembali bangkit pulih dari beberapa bencana maupun konflik yang pernah melanda.
“Kita masih ingat tahun 2006 ketika Yogyakarta diguncang gempa dengan jumlah korban yang tidak sedikit. Setahun kemudian 2007, kita tidak hanya memperingati setahun terjadinya gempa Jogja, tapi pada masa itulah Kota Jogja menjadi center of excellent untuk penanganan dan penanggulangan bencana. Kita bukan hanya pulih tapi menjadi center of excellent untuk semua pihak bahkan negara-negara dari luar Indonesia belajar tentang penanganan gempa di sini. Kita juga masih ingat ketika pada tahun 2010 itu terjadi erupsi Merapi. Kita melihat sendiri bagaimana arus dukungan warga dari arah selatan ke arah utara,” papar KMT Yudhawijaya.
Lebih lanjut KMT Yudhawijaya mengatakan, dalam mengatasi berbagai potensi bencana atau konflik di DIY, untuk itu, Keraton Yogyakarta sejak dulu hingga sekarang masih menjaga tata nilai yang ada dalam bentuk tradisi dan prosesi, dengan masih menyelenggarakan berbagai hajad dalem. Seperti melaksanakan Labuhan di Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo.
“Kita tahu bahwa labuhan itu ada kiriman utusan dari Keraton Yogyakarta ke Merapi dan Pantai Parangkusumo di antaranya. Itu sebetulnya simbol yang nyata bahwa kasultanan itu memberikan semacam edukasi kepada masyarakat untuk ngaruhke. Konsepnya Hamemayu Hayuning Bawana itu menjaga. Jangan sampai tindakan kita itu justru merusak keseimbangan karena itu salah satu yang paling penting dalam budaya Jawa, keseimbangan dan harmoni. Jadi ketika labuhan itu dilaksanakan, itu sudah memberikan pesan yang nyata bahwa pertama kita hidup berdampingan dengan wilayah yang rawan bencana. Yang ke-2, apapun yang akan terjadi meskipun itu di luar kehendak kita, kita sudah memiliki resiliensi, ketangguhan melalui pembangunan karakter yang tadi saya sampaikan,” terang KMT Yudhawijaya.
Senada dengan Beny, dalam mengatasi atau mencegah potensi bencana dan konflik, Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Aman Yuriadijaya menuturkan, upaya dilakukan dengan berbasis filosofi Sumbu Filosofi. Namun, dikontekstualisasikan dengan kondisi dan situasi yang ada pada masa sekarang.
“Bencana dan konflik ini lebih kepada sesuatu yang bernaluri sosial karena pada hakikatnya Sumbu Filosofi ini secara eksisting kan sudah ada. Orang-orang beraktivitas menurut situasi masing-masing. Untuk itu, kami membaca bencana dan konflik, sosial itu menjadi kunci yang utama. Maka kemudian yang kami lakukan adalah bagaimana kita mendorong konteks cara berpikir kolegial ini menjadi kunci yang pertama,” ucap Aman.
Dikatakan Aman, dalam upaya pelestarian Sumbu Filosofi, Pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2024 telah mengeluarkan Peta Jalan Pola Sumbu Filosofi yang masuk dalam kategori Peraturan Wali Kota. Saat ini, pihaknya sedang merancang Peraturan Wali Kota menyangkut pedoman teknis pengelolaan Sumbu Filosofi.
“Peraturan Wali Kota tersebut tidak hanya bicara peta jalan seluruh hal, tetapi juga menyangkut operasionalisasi dalam bentuk pedoman teknis,” kata Aman.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul Agus Budiraharja mengutarakan, mewakili masyarakat Bantul, ia mengatakan bangga dan bahagia, Bantul menjadi bagian dari filosofi Sangkan Paraning Dumadi yang menjadi dasar berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat. Pun, bagian dari filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dan Manunggaling Kawula Gusti.
“Inilah (filosofi) yang penting dalam kehidupan kita sehingga Daerah Istimewa Yogyakarta senantiasa minimalis di dalam konflik kemudian sarat dengan kegotongroyongan dan komitmen. Sehingga dengan demikian, warisan yang luar biasa ini seyogianya harus kita lestarikan. Harus kita wariskan kembali kepada anak cucu kita,” ujar Agus.
Menurut Agus, dengan hidupnya nilai-nilai Sumbu Filosofi dalam masyarakat, terbukti, Bantul dapat kembali pulih, baik dari bencana alam maupun konflik sosial. “2006 telah terbukti banyak korban. Kemudian tanah longsor, banjir, dan itu tentu ada kontribusi manusia. Juga bencana yang non alam. Kita baru saja keluar dari bencana penyakit Covid-19. Kemudian ada bencana-bencana lain yang tentu ini akan menghantui kita bersama. Tentu ini membutuhkan kebersamaan komitmen. Saya kira selaras dengan bagaimana kita melestarikan warisan ini. Kalau warisan ini kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, tentu bencana juga akan bisa kita hindarkan,” imbuh Agus.
Panggung Krapyak terletak berbatasan dengan Bantul dan Kota Yogyakarta. Meskipun statusnya desa tetapi kondisinya hampir sama dengan Kota Yogyakarta. Padat penduduk dan terdapat pondok pesantren yang besar, dengan santri-santri yang berasal dari seluruh Indonesia. Lalu lintas yang ramai dan perbedaan budaya yang ada tersebut pun, dapat menjadi sebab potensi-potensi konflik yang mungkin terjadi.
“Tentu ini harus kita mitigasi. Caranya, filosofi Hamamayu Hayuning Bawana, filosofi Manunggaling Kawula Gusti, dan juga bagaimana kita memaknai Sangkan Paraning Dumadi menjadi hal yang harus selalu kita kembangkan dan kita budayakan di masyarakat. Kita harus mengimplementasikan warisan-warisan filosofi itu dengan implementasi yang lebih dalam, lebih lebih membumi. Bahwa tentu yang pertama kita harus menjaga harmoni-harmoni kita dengan alam, harmoni kita dengan sesama manusia, dan harmoni kita jangan lupa dengan Tuhan kita,” tutur Agus.
Disebutkan Agus, sebagaimana filosofi Sangkan Paraning Dumadi, harus disadari bahwa manusia lahir tanpa membawa apa-apa, juga meninggal tanpa membawa hal apapun. “Sehingga legowonya, kita ini harus mewariskan kepada generasi akan datang. Kebersamaan gotong-royong yang selama ini juga masih ada itu tidak boleh hilang tetapi harus semakin kita tambahkan,” pungkas Agus. (Han/Yci/Cbs)
Humas Pemda DIY