Yogyakarta (12/11/2025) REDAKSI17.COM – Pemerintah Daerah (Pemda) DIY memfasilitasi audiensi dengan para penambang pasir Sungai Progo, Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera (PPPS), yang berlangsung di Gandok Kiwo, Kompleks Kepatihan, Rabu (12/11). Pertemuan ini membahas tindak lanjut izin pertambangan rakyat serta sinkronisasi antara aturan teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak dengan tata ruang daerah.
Sekretaris Daerah DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti, menyampaikan bahwa forum ini menjadi kelanjutan dari sejumlah pertemuan sebelumnya terkait perizinan penambangan pasir di wilayah Sungai Progo. Dalam pertemuan tersebut, para penambang menyampaikan kendala yang dihadapi, salah satunya terkait kewajiban melakukan aktivitas penambangan tanpa alat berat sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan BBWS.
“Ini kan hasil pertemuan yang kesekian kalinya terkait dengan izin pertambangan di Sungai Progo. Mereka ingin menanyakan karena dari sisi legalitas mereka harus mengurus izin, namun izinnya terkendala di rekomteknya BBWS, yang di mana diwajibkan ada kesepakatan bagi mereka untuk melakukan penambangan tanpa alat berat tanpa alat bantu yang lainnya,” terangnya.
Ni Made menjelaskan bahwa Pemda DIY telah melakukan perbandingan terhadap peraturan lama dan baru, PP Nomor 96 Tahun 2021 yang mencabut PP Nomor 23 Tahun 2010. Dalam ketentuan yang baru, penggunaan alat berat maupun bahan peledak tidak lagi disebut secara eksplisit, melainkan diatur melalui kaidah teknis pertambangan yang baik, khususnya dalam aspek pengelolaan lingkungan dan keselamatan pertambangan.
“Kami meminta Balai Besar untuk melakukan kajian, kajian apa yang mereka dikhawatirkan, misalnya gradasi alur sungai atau bahaya terhadap bangunan air dan jembatan yang ada di situ. Hal itu kemudian dijelaskan secara rinci, karena kita baca penerapan kaidah teknis pertambangan itu yang seperti apa? misalnya; caranya, atau alatnya. Ini lah yang perlu diperjelas,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sekda DIY menegaskan bahwa persoalan penambangan tidak hanya berkaitan dengan penggunaan alat, namun juga menyangkut zonasi yang sudah ditetapkan dalam tata ruang. Ia mencontohkan bahwa dalam beberapa titik, zona pertambangan yang diperbolehkan justru berada di area palung sungai, yang secara teknis sulit dilakukan secara manual tanpa alat bantu.
“Mungkin diperkirakan itu menambangnya dipinggir sungai, mungkin tidak perlu menggunakan alat berat atau alat yang dimaksud. Tapi kalau di palung, kan tidak mungkin,” ujarnya.
Untuk menindaklanjuti hasil audiensi, Pemda DIY mendorong agar Balai Besar segera mendefinisikan dan memperjelas batasan teknis dalam penerapan kaidah pertambangan yang baik. Serta, mengonsolidasikan dengan tata ruang, terkait wilayah-wilayah mana saja yang boleh ditambang, kemudian secara teknisnya menyesuaikan.
“Harus ada aturan di situ, sejauh mana, berapa yang boleh diambil. Termasuk penguatan dalam bidang pengawasan, itu menjadi hal yang penting,” terang Ni Made.
Sementara itu, Ketua PPPS, Agung Mulyono, menyampaikan bahwa para penambang rakyat di wilayah Sungai Progo saat ini tidak dapat beroperasi karena izin pertambangan rakyat (IPR) yang berakhir pada tahun 2024 belum bisa diperpanjang. “Kita dari 2015 itu berjuang untuk pertambangan rakyat dikasih pompa mekanik. Izin itu turunnya 2019, terus berakhir 2024 ini. Kita nggak bisa diperpanjang izin, pengajuan baru lagi terkendala dengan rekomtek yang dari BBWS,” ujar Agung.
Ia menjelaskan, penambang rakyat sebelumnya telah mendapatkan pompa mekanik untuk mendukung kegiatan tambang di kawasan palung sungai. Namun, karena izin belum bisa diperpanjang, seluruh kegiatan terhenti hampir sepuluh bulan.
“Kalau IPR itu kan dilarang memakai alat berat, ekskavator sama bahan peledak. Tapi karena izin kita di palung sungai, bukan di daratan. Jadi kalau mau nambang pakai pacul sama senggrong kan nggak bisa, memang harus pakai pompa mekanik,” tambahnya.
Menurut Agung, terhentinya aktivitas tambang berdampak langsung pada kehidupan ekonomi masyarakat sekitar. “Untuk anak-anak sekolah kami, ya kita harus butu ongkos beli bensin, sama paketan, sama makan. Itu roda perekonomian kita kan nggak bisa berputar di lingkungan kami,” tutur Agung.
HUMAS PEMDA DIY




