Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Pemerintah Kota Yogyakarta berkomitmen memperkuat perlindungan anak dan perempuan, khususnya dalam penggunaan layanan transportasi berbasis aplikasi. Komitmen tersebut ditegaskan dalam Workshop Kebijakan Safeguarding Perlindungan Anak dan Perempuan Pengguna Ojek Online yang digelar di Kantor DPD DIY, Selasa (30/9).
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Yogyakarta, Sylvi Dewajani, menyampaikan pentingnya kebijakan safeguarding untuk perlindungan anak dan perempuan, khususnya pengguna layanan ojek online. Ia menjelaskan, forum ini sebagai wadah diskusi untuk merumuskan strategi bersama agar layanan transportasi berbasis aplikasi dapat dimanfaatkan secara lebih aman dan optimal.
“Layanan ojek online saat ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan, banyak membantu anak-anak dan perempuan dalam aktivitas sehari-hari. Namun, kita juga harus mengantisipasi potensi kerawanan, sehingga perlindungan bisa lebih maksimal,” kata Sylvi.
Menurutnya, pencegahan jauh lebih penting dibandingkan hanya sekadar menangani kasus yang sudah muncul. Karena itu, KPAID mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada kelompok rentan, terutama anak-anak dan perempuan, agar layanan transportasi digital tidak menimbulkan risiko baru.
“Harapan kami, hasil workshop ini bisa melahirkan strategi bersama yang dapat diterapkan tidak hanya di Kota Yogyakarta, tetapi juga diperluas ke lebih banyak daerah,” jelasnya.
Dalam workshop tersebut, empat narasumber hadir untuk berbagi pengalaman, mulai dari Dinas Perhubungan DIY, DP3AP2 DIY, pihak PT KAI yang sudah menerapkan transportasi ramah anak dan perempuan, hingga lembaga sosial masyarakat yang berfokus pada isu perlindungan anak, SOS Children’s Village Yogyakarta.
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak DP3AP2KB Kota Yogyakarta, Edy Wijayanti, menegaskan bahwa workshop ini bertujuan mendorong upaya perlindungan bagi perempuan dan anak tanpa menempatkan driver ojek online sebagai pihak yang tersudutkan. Menurutnya, yang diperlukan adalah keseimbangan regulasi yang mengatur hak dan kewajiban antara pengguna dan penyedia jasa.
“Ada aturan bahwa anak di bawah 10 tahun tidak boleh dilepas sendirian untuk dijemput driver, tapi di lapangan ada yang dilepas sendiri, itu benar. Artinya ada tanggung jawab orang tua juga. Jangan sampai kelalaian orang tua justru memberi kesempatan pihak lain untuk berbuat yang tidak-tidak. Jadi peraturan harus jelas hak dan kewajiban konsumen apa, hak dan kewajiban driver apa,” jelas Edy.
Ia menyampaikan, saat ini Komisi B DPRD DIY sedang menggagas Raperda tentang perlindungan konsumen dan gagasan dari workshop ini akan diusulkan agar perda tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga penyedia jasa.
“Dari workshop ini justru muncul gagasan baru bahwa memang diperlukan aturan yang lebih detail agar tidak ada pihak yang tersudutkan. Kalau hak dan kewajiban sudah jelas, potensi masalah bisa diminimalisir. Regulasi yang seimbang akan menjadi payung hukum yang adil bagi semua,” tambahnya.
Pada kesempatan ini, salah satu driver ojek online, Ari Ariyanto berharap ada usulan terkait regulasi atau payung hukum bagi driver. Menurutnya, saat ini belum ada aturan yang melindungi mereka terkait kekerasan seksual yang dialami.
“Di lapangan, kami (penyedia jasa) banyak juga yang mengalami hal tidak mengenakan. Kalau konsumen sudah jelas aturannya, bahkan memberikan bintang satu untuk masalah sepele saja kami bisa putus kontrak. Tapi kami tidak punya ruang kalau kami yang mengalami,” ungkapnya.