Umbulharjo,REDAKSI17.COM – Pemerintah Kota Yogyakarta melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) terus mendorong penguatan layanan bagi warga lanjut usia melalui pengembangan Sekolah Lansia. Program ini dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup lansia, menjaga kebugaran, mencegah penurunan fungsi kognitif, serta menguatkan kemandirian lansia dalam kehidupan sehari-hari.

Kepala DP3AP2KB Kota Yogyakarta, Retnaningtya menyampaikan bahwa saat ini telah berdiri enam Sekolah Lansia yang tersebar di beberapa kelurahan, dan jumlah tersebut akan diperbanyak menjadi 15 titik pada 2026.

“Untuk saat ini di Kota Yogyakarta ada enam sekolah lansia. Masing-masing ada di Purbayan 3 titik, di Kemantren Mantrijeron, yaitu di Suryodiningratan dan Gedongkiwo juga satu titik di Rejowinangun,” ungkapnya saat ditemui di kantor DP3AP2KB, Selasa (25/11).

Menurutnya, tahun depan Pemerintah Kota akan menambah sembilan sekolah lansia baru. Penambahan tersebut merupakan sekolah baru dengan standar 1, dan dua lainnya akan menjadi standar 2. Penjenjangan ini bukan merujuk pada strata akademik, namun pada standar kurikulum pembinaan lansia.

Sekolah lansia memiliki kurikulum yang disusun bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta BKKBN. Kurikulum tersebut dibagi menjadi tiga standar: S1, S2, dan S3.

“Standar 1 itu lebih dasar, sifatnya ringan dan menyenangkan. Kegiatannya banyak untuk hiburan seperti bernyanyi, tepuk tangan, dan pembekalan kesehatan. Tidak ada PR juga, nanti enggak ada yang mau masuk,” jelas Retnaningtyas.

Lansia yang telah menyelesaikan standar S1 dapat melanjutkan ke standar S2 dan S3 dengan aktivitas yang sifatnya lanjutan. Masing-masing jenjang berlangsung minimal 10 bulan hingga 12 bulan.

“S1 itu penguatan untuk diri sendiri, bagaimana mandiri dan tidak bergantung. Untuk S2 meningkat bisa berperan di level keluarga dan S3 itu fokus pada kemandirian, lansia berdaya guna,” jelas Retnaningtyas.

Rata-rata satu sekolah lansia menampung 50 peserta. Dengan enam sekolah yang berjalan, total peserta saat ini sekitar 300 orang. “Meskipun belum mencakup semua lansia, kami terus menambah titik. Tahun depan menjadi 15 sekolah lansia yang dibiayai APBD. Tetapi jika ada masyarakat atau kampus yang ingin membuka dengan swadaya, itu sangat boleh. Bahkan beberapa universitas seperti UII dan UGM/UNY juga terlibat,” lanjutnya.

Retnaningtyas menegaskan bahwa tujuan sekolah lansia bukan menargetkan peningkatan ekonomi, namun memperpanjang usia harapan hidup, menjaga kemandirian, dan meningkatkan kebahagiaan.

“Kita tidak menargetkan lansia harus produktif atau menghasilkan. Yang penting mereka tetap mandiri, bisa beraktivitas sendiri, tidak menjadi beban keluarga. Ada yang usianya 90an tahun masih datang ke sekolah lansia, itu sudah keren,” katanya.

Selain kegiatan hiburan dan kesehatan, beberapa materi juga membantu lansia mencegah kepikunan melalui aktivitas kreatif seperti membuat pernak-pernik. Jika ada lansia yang masih mampu berkarya dan menambah penghasilan, hal tersebut dipandang sebagai nilai tambah tetapi bukan tujuan utama.

“Kalau mereka bisa membuat kerajinan atau menambah pemasukan itu bagus, tapi bukan target utama. Yang utama adalah mereka tetap sehat, tidak ndeprok (bed rest), dan bisa mengurus diri sendiri,” tegasnya.

Retnaningtyas mengaku membuka ruang kolaborasi dengan masyarakat, perguruan tinggi bahkan dunia usaha untuk terlibat pendampingan pada program sekolah lansia. “Kami sangat  terbuka kesempatan bagi masyarakat, komunitas atau pengusaha yang ingin membentuk sekolah lansia secara swadaya,” katanya.

Ia berharap dengan adanya sekolah lansia semakin banyak lansia yang mendapatkan dukungan untuk hidup lebih sehat, mandiri, aktif, dan bahagia melalui pembelajaran yang terstruktur dan berbasis keluarga.